Rabu, 07 Desember 2016
Gus Dur, Monitor, dan Penistaan Agama
Islam dan Hak Asasi Manusia
© istimewa
Oleh: Abdurrahman Wahid
Dikutip sepenuhnya dari :http://santrigusdur.com/2015/06/islam-dan-hak-asasi-manusia/
Pertentangan Bukanlah Permusuhan
Repost from : http://santrigusdur.com/2016/08/pertentangan-bukanlah-permusuhan/
Senin, 05 Desember 2016
Kabar KPG
Permohonan kami Gusdurian Lumajang kepada seleuruh pembaca mengaenai kegiatan " KPG" ( Kelas Pemikiran Gus Dur ) yang sebenranya dilaksanakn di Bulan Desember 2016 kita undur di awal tahun 2017 karena ada beberapa hal teknis yang tidak memungkinkan kita dari Pelaksana untuk melangsungkan KPG sesuai rencana awal. Informasi pelaksanaan KPG akan segera kita terbitkan dalam waktu dekat.
Dan bagi para pembaca yang sudah tferlanjur daftar dan mengirimkan tulisan sebagai persyaratan KPG tetap kami terima sebagai calon peserta KPG dan nanti menunggu hasil selsksi seuai dengan perturan semula.
Mohon Maaf dan Terima Kasih.*GusdurianLumajang
Senin, 03 Oktober 2016
Hujan, Berkah atau Bencana ?
Dan hujan mulai turun
Membasahi bumi
Sekejap tanah menjadi basah
Aktivitas terhenti sejenak
Segenap manusia bersembunyi
Dibalik beton menjulang tinggi..
Menatap tetesan yang membasahi..
Jalanan yang panas penuh polusi..
Seketika banyak yang emosi
Merasa KAU sebagai pengacau..
Menganggap berkahmu sebagai derita
Karena basah mereka berani..
Memarahi Tuhannya sendiri..
Sedangkan aku..
Merenung dibalik kaca..
Mendengar gemuruh air..
Menenangkan jiwa..
Menikmati setiap tetes membasahi jendela..
Aku terdiam penuh makna..
Mengapa hujan senikmat ini..
Banyak orang yang memaki?
Mengapa KAU dihujat..
Dianggap sebagai perusak hari..
Aku tak mengerti...
Oleh
Bimo Budimantoro
Mahasiswa STIE Widya Gama Limajang
Minggu, 02 Oktober 2016
SEBUAH HARAPAN
Sebuah harapan mengajariku untuk tetap bernafas
Lalui hari yang tak tentu,
Aku menatap misteri,apapun yang terjadi
Aku hanya bisa menerima kehendak Tuhan yang kucintai..
Jika hal buruk terjadi, tangis air mata kan menetes basahi pipi..
Jika hal baik terjadi, tawa riang gembira merangkuli jiwa..
Sebuah harapan. Membuatku tetap berdiri
Walau terjatuh lagi, aku kan bangkit lagi.
Sebuah harapan membuatku tak kenal lelah, hadapi dunia..
Tetap tatap masa depan, walau cobaan penuh menghadang..
Hati tak akan goyah..
Karena sebuah harapan,
Aku berlari sekuat tenaga..
Menembus batas..
Memecah tembok penghadang..
Hancurkan rintang yang melintang..
Sebuah harapan, karena mu aku hidup..
Karenamu aku tetap bernafas
Karenamu, aku tetap tegak..
Tanpamu, aku hilang arah..
Tak jelas hidupku..
Tanpamu, aku hilang asa.......
Oleh
Bimo Budimantoro
Mahasiswa STIE Widya Gama Lumajang
Sabtu, 01 Oktober 2016
SAJAK MUHARRAM
SAJAK MUHARRAM
Masih seperti yang dulu
Iya, masih sama seperti dulu
Juga mungkin akan seperti ini seterusnya
Berselimutkan angin
Bertaburkan hujan
Ritual ini
Begitu hikmat suara itu terdengar
Lewat speaker - speaker surau yang sederhana
Sampai menara - menara masjid megah lan indah
Tanpa komando yang terstruktur,
Maupun paksaan sang otoritas
Kaum sarungan bersama wanita berjilababkan kain tipis
Silih berganti memadati serambi - serambi berlabelkan batas suci yang hanya bermotif garis lurus satu warna
Entah sihir mana yang membariskan mereka dengan begitu rapat dan rapi
Seperti bala tentara Thariq bin Ziyad saat menguncang Andalusia
Lantunan kalimat syahdu penuh harap yang seirama
menjadi instrumen merdu dari kaloborasi alamiah para pecinta Muhammad SAW
Mereka dengan intim serta kaharuan melewati pergantian tahun
Ampunan sang kuasa,
Ridho sang pencipta
Menjadi tujuan ritual suci ini
1 Muharram muslim memanggil nya
1 Muharram pula yang melahirkan ritual ini
Sebagai bukti keistimewaan di dalamnya
Kami mengagungkan datangnya Muharram
Kami bahagia menyambutnya
Karena
Sang pencipta juga mengagungkannya
Diciptakannya
Surga dan Neraka
Bumi serta isinya
Sebagai simbol keagungan kehidupan ciptaannya
Selamat datang ya Muharram
Selamat datang lembaran baru
Selamat datang para hamba yang akan berbenah.
Lumajang, 01 Oktober 2016
Oleh Muhammad Izzat Abdi
Penggerak Gusdurian Lumajang
Kamis, 29 September 2016
NU dan Islam di Indonesia Dewasa Ini
Siapa Lebih Dekat dengan Tuhan
Jika sudah bisa menerima perbedaan maka akan lebih terbuka dalam berdialog, bahkan kata Gus Dur, lahir lelucon seperti yang dilontarkan seorang kyai, bhiksu, dan pendeta.
Pendeta mengatakan, “Kami dekat sekali dengan Tuhan. Jadi kami memangil Tuhan Anak, Tuhan Bapak.” Si bhiksu menimpali, “Kami juga dekat. Bukan manggil Bapak, tapi Om. Lha bagaimana dengan Anda, pak kyai?” Lalu Pak Kyai menjawab, “Boro-boro deket, manggil-nya aja mesti pake menara,” urai Gus Dur diiringi tawa seisi ruangan.
Tulisan ini sepenuhnya diambil dari http://cangkirgresik.blogspot.co.id/2010/11/kumpulan-humor-gus-dur.html
Gus Dur tentang Kesetaraan dalam Perbedaan
K.H. Abdurrahman Wahid yang akrab dipanggil ‘Gus Dur’ adalah tokoh Muslim santri sekaligus politisi yang terpilih menjadi presiden keempat Indonesia. Gus Dur, adalah seorang ulama dan pemimpin organisasi Islam terbesar, Nahdlatul Ulama (NU). Karena itu, pemikiran Gus Dur, termasuk mengenai kesetaraan dalam perbedaan, tidak terlepas dari pemahaman dan penafsirannya terhadap ajaran-ajaran Islam. Pada 1994, Gus Dur datang ke Banjarmasin untuk kegiatan NU. Dia juga diundang PMII Cabang Banjarmasin untuk mengisi seminar tentang ‘Pembaruan Pemikiran Islam’, bertempat di auditorium IAIN Antasari. Saya ketika itu baru saja selesai skripsi, dan masih aktif di PMII.
Hadir mendampingi Gus Dur, Ketua Tanfidziah PW NU Kalsel, M. Zurkani Jahja. Bertindak sebagai moderator, A. Hafizh Anshari, tokoh NU yang kelak menjadi Ketua KPU Pusat (2007-2012). Peserta yang hadir penuh, membludak. Kursi yang tersedia tidak cukup, sehingga banyak yang berdiri. Kebanyakan yang hadir adalah para aktivis mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Banjarmasin. Gus Dur saat itu memang menjadi tokoh kontroversial, yang dipuja sekaligus dihujat, sehingga kehadirannya selalu mengundang perhatian banyak orang.
Gus Dur memulai ceramahnya dengan mengatakan bahwa pembaruan pemikiran Islam di era modern dapat disederhanakan ke dalam dua paradigma besar. Pertama, paradigma yang melihat Islam sebagai agama yang lengkap dan sempurna. Islam diyakini memiliki ajaran yang lengkap di segala bidang: sosial, politik, ekonomi hingga budaya. Karena itu, pembaruan Islam berarti kembali kepada Islam yang dianggap lengkap itu secara keseluruhan. Dengan pandangan ini, Islam kemudian dihadapkan kepada agama, pemikiran dan ideologi lain. Islam ditampilkan sebagai sesuatu yang unik dan berbeda dengan yang lain-lain. Bahkan Islam digambarkan sebagai sesuatu yang bertentangan dan berlawanan dengan yang lain-lain. Kedua, paradigma yang berpandangan bahwa Islam berada dalam alur umum sejarah kemanusiaan. Islam memang memiliki ciri-ciri khasnya sendiri, tetapi ia juga bertemu, berjumpa, berbaur bahkan menyerap dari banyak hal yang berlangsung dalam sejarah umat manusia. Karena itu, berbeda dengan pandangan pertama, menurut paradigma ini, Islam tidak sepenuhnya unik. Dia dapat belajar, berkawan bahkan bekerjasama dengan yang lain-lain.
Mungkin untuk menunjukkan sikapnya yang demokratis (dia ketika itu menjadi Ketua Forum Demokrasi yang kritis terhadap pemerintahan otoriter Orde Baru), Gus Dur tidak secara eksplisit menyatakan, mana di antara dua paradigma itu yang menjadi pilihan pribadinya. “Kita di sini adalah masing-masing kita. Anda adalah warga negara yang merdeka,” katanya. Namun, kalau kita mengamati pemikiran dan praktik politik Gus Dur, jelaslah bahwa ia memilih pandangan yang kedua. Karena itu, dia terbuka kepada apapun yang baik, yang datang dari luar, selama tetap sejalan dengan prinsip-prinsip Islam. Karena itu pula, dia berusaha menghargai perbedaan dan melindungi kaum minoritas. Sikapnya ini semakin tampak dalam dialog. “Mengapa banyak dari tokoh Islam berlatarbelakang pendidikan umum menjadi sangat keras dalam beragama?” tanyaku padanya. Gus Dur menjawab bahwa hal itu karena pengetahuan agama mereka masih sempit.
Dia menceritakan bagaimana Soedjatmoko, cendekiawan terkenal dan dihormati di masa Orde Baru, begitu terkejut setelah Gus Dur menjelaskan makna jihad dalam salah satu kitab fiqh klasik, yang isinya bukan hanya soal perang, tetapi justru tentang pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat dan bagaimana membangun kesejahteraan. Dalam seminar itu, salah seorang peserta ada yang mengkritik Gus Dur, menuduhnya sebagai biangkerok perpecahan umat Islam di Indonesia, karena dia enggan bergabung dengan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Jawaban Gus Dur cukup mengejutkan. Katanya, “Jika umat Islam tidak bisa dipersatukan, ya biarin aja!” Orang-orang pada tertawa. Gus Dur kemudian melanjutkan bahwa perbedaan itu justru menimbulkan gairah, seperti taman yang ditumbuhi bunga-bunga berbagai jenis dan warna akan membuat mata terpesona. Orang tidak boleh memaksakan kehendak, lalu menyeregamkan perbedaan, karena akan mematikan kreativitas. Lantas, bagaimanakah persatuan umat Islam ditegakkan? Menurut Gus Dur, persatuan itu dapat diwujudkan pada tataran prinsip-prinsip agama, bukan cabang-cabangnya, ushûl bukan furû’.
Demikianlah, sikap Gus Dur yang memilih paradigma Islam sebagai berada dalam alur umum sejarah kemanusiaan membuatnya berusaha di satu sisi untuk menghormati dan melindungi perbedaan, dan pada saat yang sama berusaha mencari titik temu di antara perbedaan tersebut. Gagasan Gus Dur mengenai ‘pribumisasi Islam’ antara lain merupakan upaya untuk menegaskan bahwa Islam sebagai agama memang universal, tetapi manifestasi Islam dalam berbagai kebudayaan membuatnya berbeda-beda. Memisahkan Islam dari kebudayaan adalah absurd karena meskipun agama itu berasal dari Tuhan, bukan ciptaan manusia, tetapi ketika diterima, diamalkan dan diajarkan oleh manusia, agama menyatu dan berbaur dengan kebudayaan. Karena itu, dalam sebuah kolom di Tempo yang terbit tahun 1983, Gus Dur menulis bahwa Islam jangan sampai tercerabut dari akar-akar budaya lokal. Ia mempertanyakan, mengapa kita harus mengganti kata ‘sembahyang’ dengan ‘shalat’, ‘langgar’ atau ‘surau’ dengan ‘mushalla’, ‘kiai’ atau ‘tuan guru’ dengan ‘ustadz’? Ia mengkhawatirkan bahwa akan terjadi formalisme berbentuk Arabisasi total. Karena itu, menurutnya diperlukan pribumisasi Islam. Dalam sebuah wawancara yang diterbitkan pada 1989, Gus Dur dengan indah menggambarkan proses pembudayaan agama itu dengan metafora air hujan dan sungai, suatu metafora yang terasa akrab bagi masyarakat Banjarmasin, Kota Seribu Sungai. Gus Dur mengatakan:
Pribumisasi Islam adalah bagian dari sejarah Islam, baik di negeri asalnya maupun di negeri lain, termasuk Indonesia. Kedua sejarah itu membentuk sebuah sungai besar yang terus mengalir dan kemudian dimasuki lagi oleh kali cabangan sehingga sungai itu semakin membesar. Bergabungnya kali baru berarti masuknya air baru yang merubah warna air yang telah ada. Bahkan pada tahap berikutnya, aliran sungai ini mungkin terkena ‘limbah industri’ yang sangat kotor. Tapi toh tetap merupakan sungai yang sama dan air yang lama. Maksud dari perumpamaan ini adalah bahwa proses pergulatan dengan kenyataan sejarah tidaklah merubah Islam, melainkan hanya merubah manifestasi dari kehidupan agama Islam.
Ketika ide pribumasasi Islam digulirkan oleh Gus Dur, dia dituduh ingin mengganti ‘Assalamu’alaikum’ dengan ‘Selamat Pagi’, termasuk dalam ibadah salat. Tentu saja, tuduhan ini memantik kontroversi, dan Gus Dur seperti biasa, menghadapinya dengan santai. Soal ‘Assalamu’alaikum’ dan ‘Selamat Pagi’ itu, Gus Dur menjelaskan bahwa ada pejabat yang berkata kepadanya bahwa dia tidak fasih mengucapkan ‘Assalamu’alaikum’. Lalu Gus Dur menanggapi, jika demikian, cukup diucapkan ‘Selamat Pagi’ saja. Meski kontroversi ini di satu sisi membuat gagasan Gus Dur jadi perbincangan, namun di sisi lain, substansi dari gagasan itu justru terabaikan.
Jika Islam itu akomodatif terhadap keragaman budaya lokal selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam, bagaimanakah pandangan Islam terhadap universalisme kebudayaan dan kosmopolitanisme? Dalam sebuah makalah yang diterbitkan pada 1994, Gus Dur menjelaskan bahwa nilai-nilai universal dalam Islam adalah apa yang dikenal sebagai lima tujuan dasar syariat (maqâshid al-sharî’ah) yang semula dirumuskan oleh al-Ghazali, kemudian dikembangkan oleh al-Syathibi. Lima tujuan dasar syariat, yang disebut kemaslahatan itu adalah (1) Hifzh al-nafs yang diartikannya sebagai jaminan keselamatan jiwa dan fisik dari tindakan di luar hukum; (2) Hifzh al-dîn yang diartikannya sebagai jaminan kebebasan beragama; (3) Hifzh al-nasal, yakni jaminan keselamatan keluarga dan keturunan; (4) Hifzh al-mâl, yaitu jaminan keselamatan harta atau hak milik; (5) Hifzh al-‘aql yang diartikannya sebagai jaminan keselamatan profesi.
Seperti banyak pemikir Muslim modern lainnya, dengan merujuk kepada tujuan-tujuan syariat ini, Gus Dur berusaha mensejajarkan antara nilai-nilai agama dan nilai-nilai kemanusiaan universal, atau yang kemudian dirumuskan sebagai hak-hak asasi manusia (HAM). Pada tataran keindonesiaan, nilai-nilai dasar syariat itu juga dipertemukan dalam ideologi negara, yaitu nilai-nilai Pancasila. Karena itu, penerimaan kaum Muslim terhadap Pancasila bukan suatu oportunisme politik seperti yang dituduhkan para ‘pejuang’ negara Islam, tetapi justru berdasarkan alasan fundamental, yakni tujuan-tujuan syariat yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
Namun, perjumpaan atau titik temu pada tataran nilai-nilai kemanusiaan tersebut tidak berarti bahwa semua perbedaan akan lenyap apalagi dilenyapkan. Sebab, jika demikian, maka gagasan Gus Dur tentang pribumisasi Islam menjadi tertolak. Karena itu pula, ketika berbicara tentang keragamaan agama, Gus Dur menekankan bahwa setiap agama berhak dan sudah sewajarnya memiliki keyakinan tentang kebenaran agama yang dianutnya. Dalam sebuah kolom yang ditulisnya di Tempo yang berjudul ‘Yang Sama dan Yang Benar’, Gus Dur menguraikan masalah ini dengan gamblang. Menurutnya, ketika seorang pejabat mengatakan bahwa semua agama sama, tidak harus berarti bahwa semua agama adalah benar. Yang dimaksud dengan pernyataan itu adalah bahwa semua agama sama di hadapan negara, sedangkan klaim kebenaran masing-masing agama tetap bisa dijaga. Gus Dur menjelaskan:
Kalau kita berkepala dingin, kita pertama kali harus mampu membedakan antara berjenis-jenis ‘kesamaan’ yang di mata agama dan di mata negara. Kesamaan di mata agama berkait dengan masalah kebenaran inti ajaran, sedang kesamaan di mata negara adalah status di muka undang-undang, kedudukan di muka hukum. Tidak ada agama yang mau melepaskan ‘hak tunggal’nya untuk memonopoli ‘kebenaran ajaran’. Forum keagamaan formal paling ‘longgar’ sekalipun, Konsili Vatikan II atas prakarsa Paus Yohanes XXIII, masih mempertahankan ‘monopoli kebenaran’ itu: forum itu dapat memahami dan menerima upaya mencapai kebenaran mutlak Tuhan, dengan tidak mengurangi kebenaran yang sudah dicapai keimanan Kristiani.
Islam pun bersikap demikian, karena al-Qur’an sudah menetapkan agama yang benar di sisi Allah adalah Islam. Namun tidak berarti negara tidak boleh memberikan perlakuan yang sama kepada semua agama. Sebaliknya, keutuhan negara hanya akan tercapai kalau ia memberikan perlakuan sama di muka hukum. Persamaan teologis antara dua agama tidak akan mungkin ada—kalau diartikan sebagai hak merumuskan kebenaran mutlak Tuhan. Namun persamaan kedudukan di muka hukum dapat ditegakkan, selama ada yang memberikan perlakuan sama.
Demikianlah beberapa gagasan pokok Gus Dur mengenai kesetaraan dalam perbedaan, kesatuan dalam keragaman. Sebagai seorang Muslim, Gus Dur membanguan pandangannya dari tradisi pemikiran Islam. Dia memilih paradigma terbuka, yang meletakkan Islam dalam alur umum sejarah kemanusiaan. Karena itu, secara alamiah, Islam akan muncul dalam aneka budaya yang berbeda, namun pada saat yang sama, ciri-ciri khas Islam tetap mengikat keragaman itu. Begitu pula, niai-nilai kemanusiaan universal dapat dipertemukan dengan tujuan-tujuan syariat, dan pada tataran keindonesiaan dengan nilai-nilai Pancasila, tetapi pada saat yang sama, ciri khas Islam sebagai agama tetap dijaga.
Karena itu, bagi Gus Dur, menjaga keyakinan dan klaim kebenaran bagi tiap-tiap pemeluk agama memang sudah sewajarnya, tetapi bukan berarti harus melahirkan konflik karena dalam perbedaan ini, negara wajib memperlakukan para pemeluk agama yang berbeda itu secara adil dan sama di hadapan hukum. Sejarah membuktikan, Gus Dur tidak hanya menggelindingkan gagasan-gagasan ini, tetapi juga berusaha mewujudkannya dalam tindakan dan kebijakannya sebagai pemimpin NU dan presiden. Tentu, sangat penting dan menarik untuk ditelaah lebih lanjut seberapa jauh keberhasilan dan kegagalan usahanya dalam mewujudkan ide-idenya itu menjadi kenyataan, dan apa saja faktor pendukung dan penghambatnya.
Tulisan ini sepenuhnya diambil dari: http://www.gusdurian.net/id/article/all-categories/Gus-Dur-tentang-Kesetaraan-dalam-Perbedaan/
Review Buku-Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman
Gus Dur memiliki peran penting dalam proses kerukunan umat beragama di Indonesia. Terlebih, konteks NU yang melekat pada dirinya merupakan bagian dari model keislaman di Indonesia yang memiliki peran penting. Bagi Gus Dur, memulihkan hubungan sempat retak untuk kembali harmonis merupakan suatu hal sulit. Ia sendiri tak menampik bahwa bangsa Indonesia dengan keragaman etnis, rasm suku dan agama perlu usaha yang keras untuk mewujudkan keharmonisan di dalamnya. Gagasan besar dalam hubungan antarumat beragama di Indonesia menurut Gus Dur bukan lagi sekadar saling pengertian, melainkan juga secara tulus dan berkelanjutan. Tidak cukup pada takar saling menghormati, juga harus punya rasa memiliki. Gus Dur juga menyayangkan adanya penggiringan opini negatif terhadap pihak-pihak tertentu dari para pengkhotbah dan ceramah pemimpin Islam. Untuk itu, Gus Dur menekankan rasa memiliki itu harus dipikul oleh umat Islam di Indonesia agar terciptanya keharmonisan serta menjadikan Islam sebagai kekuatan pelindung bagi seluruh penduduk negeri ini secara keseluruhan. (“Islam dan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia”, Kompas, Senin, 14 Desember 1992)
Perhatian Gus Dur terhadap keterkaitan antara agama dan negara bukan hanya sekadar tulisan belaka. Gus Dur pun turut serta dalam pembangunan serta keikutsertaan dan penilaian terhadap kegiatan yang berkaitan dengan format hubungan agama dan negara. Misalnya pendapatnya mengenai Kongres Umat Islam yang mencari format hubungan agama dengan negara, Gus Dur menilai bahwa kegiatan sebelumnya telah gagal dalam membangun sebuah rumusan yang fasih. Tak lain karena terpecah belahnya umat Islam di Indonesia. Gus Dur justru mengkriti bagaimana Islam di Indonesia hanya mengacu pada konsep ke-esa-an semata (Tauhid). Dengan kata lain, banyak kegiatan dan hal-hal lain di luar itu dihindarkan. Semisal, meninggikan orang yang dimuliakan oleh Allah seperti Wali dan ziarah kubur dianggap sebagai penentangan terhadap umat Islam. Bagi Gus Dur, banyak ormas Islam seperti NU dan Muhammadiyah yang selama ini sudah besar, belum bisa menjawab hubungan Islam dan Negara.
Dalam beberapa pandangan misalnya perbedaan muncul dalam merumuskan siapa pemimpin Islam. Bagi gerakan pembaru, maka menurut Gus Dur harus dicari sesuai format yang berlaku—namun bagi kaum tradisionalis, hal itu tentu dibiarkan saja terjadi secara natural. Di balik semua itu, hal yang lebih esensial lagi yakni mengenai Islam yang dipandang sebagai agama hukum, maka perlu menerapkan hukum Islam dalam konteks kenegaraan. Gus Dur sendiri meniali bahwa terdapat tiga macam reponsi dalam hubungan antara Islam dan negara, yaitu reponsi integratif, repsonsi fakultatif dan responsi konfrotatif. Responsi integratif dinilai bahwa Islam sama sekali menghilangkan kedudukan formalnya dan sama sekali tidak menghubungkan ajaran agama dengan urusan kenegaraan. Artinya, masyrakat yang menganut agama Islam itu bergantung dengan pola hidup nya sendiri—tanpa harus diatur oleh negara. Responsi fakultatif menurut Gus Dur tergantung bagaimana perwakilan kaum muslimin di parlemen. Jika kuat, maka akan diusahakan, sebaliknya jika lemah maka akan mengikuti aturan yang berlaku. Responsi konfrotatif secara tegas menolak kehadiran hal-hal yang dianggap tidak Islami. (“Kongres Umat Islam: Mencari Format Hubungan Agama dengan Negara”, Kompas, Kamis, 5 November 1998.
Penulis adalah alumni kelas pemikiran Gus Dur 3
Tiga Pendekar dari Chicago
Ketiga “pendekar” di atas ternyata tidak menampilkan citra yang sama dan padu seperti para alumni Universitas McGill di Montreal, Kanada. “Mafia McGill” hampir semuanya menjadi “agen pencerahan” yang bersikap serba-terbuka kepada “hal-hal baru”, termasuk gagasan kerukunan antarumat beragama. Mafia itulah yang kemudian menguasai Departemen Agama sejak Profesor A. Mukti Ali menjabat menteri agama, pada tahun 1970-an.
Walaupun beberapa dedengkotnya, seperti Kafrawi, M.A., dibantai oleh Menteri Agama Alamsyah Ratuperwiranegara (1978-1983), toh secara keseluruhan mafia tersebut masih kukuh menopang kegiatan departemen itu. Hal itu terjadi karena kuatnya kohesi para anggotanya, mulai A. Mukti Ali dan Harun Nasution hingga yang baru pulang belakangan dari sana.
Itu lain halnya dengan para pendekar dari Chicago. Nurcholish Madjid berangkat dari keterbukaan sikap yang ditunjukkan peradaban Islam di puncak kejayaannya, sekitar sepuluh abad lalu: keterbukaan yang membuat Islam mampu menyerap yang terbaik, dari mana pun datangnya. Proses penyergapan itu menjadikan Islam agama yang sarat dengan nilai universal yang dianut umat manusia secara tidak berkeputusan. Karenanya, Nurcholish Madjid selalu menekankan pentingnya mencari persamaan di antara semua agama dan semua kebudayaan.
Sikap memisahkan diri dari universalitas peradaban manusia hanya akan menyempitkan Islam sendiri, sebagai cara hidup bagian cukup besar dari umat manusia. Inklusivitas Islam haruslah dipertahankan kalau vitalitas agama terakhir itu ingin dapat dilestarikan. Sebab, keharusan mengembangkan inklusivitas Islam itu, dalam pandangan Nurcholish, hanya dapat terwujud dalam lembaga politik formal Islam. Terkenal sekali semboyan Nurcholish: “Islam yes, partai politik (Islam) no”.
Sudah tentu pendekatan kultural Nurcholish Madjid itu bertabrakan langsung dengan pandangan Amien Rais. Wakil Ketua PP Muhammadiyah itu terkenal dengan orientasi “cara hidup Islami” yang ditumbuhkannya di kampus-kampus selama ini. Cara hidup tersebut bermula dari kesungguhan berpegang pada Islam sebagai sumber nilai-nilai yang unik.
Nilai-nilai tersebut dapat saja dikembangkan umat agama atau paham lain, tetapi sebagai sistem akan memiliki kekhasan sendiri. Menurut pandangan ini, mau tidak mau kaum muslim harus memperhatikan dunia politik, yang akan melestarikan kekhasan Islam melalui pelestarian nilai-nilainya dalam sebuah sistem sosial yang utuh. Arti kekuasaan politik menjadi sangat penting sebagai alat upaya pelestarian itu.
Itu lain halnya dengan pandangan Syafi’i Ma’arif, yang tidak begitu risau dengan prospek kekhasan Islam sebagai sebuah sistem seperti anggapan Amien Rais. Ia lebih dekat pada pandangan Nurcholish, yang mengutamakan aspek kultural Islam. Tetapi, sebagai “orang organisasi”, ia juga menekankan arti penting upaya memasuki pusat-pusat kekuasaan (power centers).
Dengan memiliki kewenangan pemerintahan, orang-orang gerakan Islam (Islamic movements) dapat lebih jauh lagi mengembangkan Islam sebagai “budaya bangsa”. Mungkin akan lebih nges kalau pandangan ini disemboyankan sebagai “Islam yes, politik Islam yes”.
Cukup besar perbedaan antara ketiga pandangan itu. Dan itulah yang menjadi ciri “kesatuan” antara ketiga pendekar Chicago itu. Mereka sama-sama memiliki komitmen untuk mengembangkan Islam sebagai cara hidup, dalam bentuk sistematik atau “hanya” kultural. Mereka juga sama-sama merasakan kebutuhan untuk mengembangkan kemampuan kaum muslim di segala bidang, untuk mengejar ketertinggalan mereka selama ini.
Untuk itu, mereka sependapat tentang perlunya perubahan mendasar dalam pandangan hidup kaum muslim: etos dan disiplin kerja serta etika sosial mereka. Dalam merumuskan kelayakan upaya-upaya itulah terjadi “perbedaan dalam kesatuan” antara mereka bertiga.
Nurcholish, dalam kegairahan meneguk “air kehidupan” dari berbagai sumber, melontarkan “kesamaan dasar” antara Islam dan agama-agama besar lain, yang terwujud dalam nilai-nilai universal yang dimilikinya. Kontan pandangan “aneh” ini digebuk beramai-ramai oleh kalangan umat (baca: gerakan) Islam. Ridwan Saidi dan Daud Rasyid “menguliti”-nya tanpa kasihan dan menuntut agar Nurcholish “bertobat”.
Sebenarnya, kalaupun Nurcholish dapat dipersalahkan, hal itu hanya terletak pada generalisasinya atas “kesamaan” antara Islam dan agama-agama lain. Ia tidak merumuskan hal itu sebagai sesuatu yang relatif, yang masih memungkinkan Islam dibedakan secara kategoris dari sudut pandang teologis.
Bagaimanapun, hal seperti itu tidak akan bisa diterima umat Islam. Ia seharusnya menyatakan bahwa secara teologis ada perbedaan esensial antara semua agama di dunia karena unikum masing-masing. Namun unikum itu harus “dikendalikan” dan “dipertalikan” dengan memberikan perlakuan dan kedudukan yang sama bagi semua warga negara di mata hukum negara. Kalau ini yang dikemukakannya, tentu tak ada yang keberatan terhadap pandangan Nurcholish.
Yang menarik, kedua pendekar lainnya dari Chicago tidak membelanya dari serangan Ridwan Saidi. Itu berarti antara mereka tampaknya tidak ada hohesi kuat. Benarkah demikian?
Tulisan ini sepenuhnya diambil dari Tempo edisi 27 Maret 1993