BREAKING NEWS

Senin, 09 Januari 2017

"Kelas Pemikiran Gus Dur (KPG)" hadir di Kab Lumajang

          Mengawali tahun baru 2017 ini kami komunitas Gusdurian Lumajang membuka aktiftas ditahun ini dengan kegiatan Kelas Pemikiran Gus Dur ( KPG ) yang pertama kalinya dilaksanakan di Kabupaten Lumajan. Kegiatan ini merupakan salah satu media bagi para masyarakat khususnya bagi para pemuda yang memiliki ketertarikan terhadap sosok K.H. Abdurahman Wahid atau yang sering di panggil Gus Dur, atau bagi mereka yang ingin bergabung dengan Komunitas Gusdurian juga bisa melalui kegiatan KPG ini.


 
         KPG di Lumajang yang dilaksanakan di Aula PTPN XII Kertowono Gucialit pada tanggal 28 -29 Januari 2017 nanti akan dihadiri langusng oleh Alissa Wahid putri Gus Dur yang pertama yang sekaligus sebagai Koordinator Jaringan Gusdurian Nasional, beliau juga akan menyampaikan salah satu materi KPG, selain itu akan juga hadir para penggerak Gusdurian yang sudah berpengalaman baik di tingkat Provinsi, Nasional, bahkan Internsional seperti A'ak Abdullah Kudus ( Lumajang ), Aan Anshori ( Jombang ), Ahmad Zainul Hamdi ( Surabaya ), Kristanto
Kristanto Budiprabowo ( Malang) serta Jay Akhmad ( Yogyakarta )mereka juga yang akan menyampaikan materi - materi yang ada di dalam KPG. 



         Bagi masyarakat Lumajang khususnya para pelajar dan mahassiswa serta para pengagum Gus Dur ini merupakan salah satu kesempatan untuk bersama - bersama belajar tentang sedikit pengetahuan kita tentang Gus Dur beserta sedikit pemikirannya, yang kita anggap hingga hari ini masih sangat relevan untuk kembali kita pelajari dan kita terapkan. Adapaun Syarat dan Ketentuan Mengikuti sebagai berikut : 
  1.  Usia 18 - 30 tahun.
  2.  Mengisi formulir pendaftaran (Unduh di Gusdurianlumajang.blogspot.co.id
  3. Mengirimkan tulisan tentang salah satu dimensi pemikiran Gus Dur yang menjadi ketertarikan peserta maksimal 500 karakter. 
  4. Kirimkan melalui via E-mail (Gusdurianlmjg@gmail.com
  5. Bersedia menginap dan mengikuti acara sampai selesai. 
  6.  Formulir Pendaftaran  : https://drive.google.com/open?id=0B-hTPPSnYKDfN1FoSGJ5czd5UTA

 Info Lebih lanjut bisa menghubungi Kami via email : Gusdurianlmjg@gmail.com, 081217663603  (Izzat), 085604963600 ( Rizki ) atau di akun sosial media Lainnya.

Rabu, 07 Desember 2016

Gus Dur, Monitor, dan Penistaan Agama

©istimewa©istimewa
Oleh: Sarjoko*
Masyarakat Indonesia pernah beberapa kali dihebohkan oleh kasus penistaan agama. Salah satu yang cukup menghebohkan adalah kasus Monitor. Pada tahun 1990, tabloid Monitor yang digawangi Arswendo Atmowiloto mengeluarkan laporan ‘tokoh idola’ pembaca tabloid tersebut. Yang mencengangkan adalah Nabi Muhammad SAW berada di nomor sebelas, lebih rendah dari posisi Arswendo di nomor urut sepuluh.
Sontak hal ini menyulut kemarahan sebagian kaum muslimin. Mahasiswa muslim di seantero negeri melakukan demonstrasi. Banyak tokoh muslim yang mengecam dan mengeluarkan komentar keras. Kantor redaksi Monitor diacak-acak. Arswendo kemudian dipenjara karena ‘melecehkan’ ketokohan Nabi Muhammad.
Di tengah bara api kemarahan, Gus Dur muncul dan mengeluarkan komentar yang membuat banyak orang bertanya-tanya. Ia menganggap Monitor tidak menistakan agama. Lha, kok? Berikut adalah wawancara imajiner penulis dengan Gus Dur, menanggapi soal penistaan agama:

Assalamu’alaikum, Gus.
Wa’alaikumsalam. Mari-mari duduk di sini (Gus Dur yang awalnya tiduran, kemudian bangkit dan mempersilakan saya duduk di depannya. Saya mencucup tangannya lalu berbasa-basi sejenak. Setelah itu, saya menyampaikan maksud dan tujuan kedatangan saya bertamu ke Ciganjur, Jakarta).
Begini, Gus. Jauh-jauh dari Jogja saya hanya ingin tabayun dengan panjenengan soal kasus Monitortahun 1990 lalu. Di saat banyak kaum muslimin merasa terlecehkan dengan hasil survei Monitor, mengapa Anda justru membela Arswendo?
Lho, siapa yang membela? Saya tidak membela siapa-siapa. Lha wong saya cuma menyampaikan pendapat saja.
Tapi… Sebagian kaum muslimin dan para intelektual muslim merasa dilecehkan lho, Gus.
Lha itu kan perasaan mereka. Jadi sah-sah saja dong berbeda. Saya justru heran kalau Nabi Muhammad itu jadi tokoh paling populer di tabloid tersebut.
Lha kok gitu, Gus?
Ya karena Monitor itu kan tabloid yang segmentasinya kaum sosialita. Pembacanya gak mesti mudeng soal agama. Lagipula salah siapa orang Islam nggak ikut-ikutan terlibat survei. Berbeda kalau yang survei majalah Hidayah atau Sabili (Hidayah dan Sabili adalah majalah berideologi Islam), ya pasti Nabi Muhammad yang jadi tokoh paling populer. Nomor duanya ayo tebak siapa? (Gus Dur bertanya).
Em… Rhoma Irama kali, Gus?
Salah. Ya jelas saya, dong ha ha ha (Gus Dur tertawa lepas. Saya pun tak kuasa menahan tawa).
Kembali ke Monitor, Gus. Tadi panjenengan mengatakan bahwa Anda tidak membela Arswendo. Lalu siapa yang Anda bela?
Mas, saya ini cuma membela akal sehat. Masak gara-gara survei itu, masyarakat menuntut tabloid Monitordibredel. Bagi saya ini enggak bener caranya. Saat itu Soeharto lagi hobi memberedel pers yang tidak sesuai dengan keinginan pemerintah. Nah, saya lagi berjuang agar pers bisa independen, tidak tertekan siapa-siapa.
Lagi pula bukan survei dong kalau hasilnya bisa didikte… Ini kayak tulisan Hart (Michael H. Hart) yang menulis Nabi Muhammad sebagai tokoh paling berpengaruh sepanjang sejarah umat manusia. Orang Kristen dan Yahudi ya ndak terima. Apalagi Yesus ditaruh di nomor tiga setelah Newton. Bagi mereka ini penistaan. Tapi bagi saya ya sah-sah saja si Hart nulis kayak gitu. Toh, itu menurut pendapat pribadinya. Kalau gak setuju ya tinggal bikin buku tandingan. Gitu aja kok repot.
Kita ini hidup di negara demokrasi yang menjamin kebebasan berpendapat dan berekspresi, lho. Masak hanya karena ketidaksetujuan sebagian orang, kok asal main bredel saja. Kalau tidak setuju ya tinggal ndakusah beli majalahnya. Gitu aja kok repot! Lagi pula, di edisi selanjutnya, pihak Monitor menyampaikan permohonan maaf mereka.
Baik, Gus. Hanya saja, menariknya orang-orang seperti Nurcholis Majid ikut-ikutan mengecam Monitor. Menurut panjenengan, sebenarnya apa yang membuat Cak Nur begitu sangat bereaksi saat itu?
Ya jangan tanya saya. Tanya Cak Nur saja. Yang jelas pada saat itu suasana hati kaum muslimin sedang panas. Orang kalau lagi marah bawaannya susah menggunakan akal sehat. Bukan berarti saya mengatakan Cak Nur tidak menggunakan akal sehat lho ya. Beliau itu orang yang sangat cerdas. Tetapi dalam menyikapi kasus Monitor, saya punya pandangan dan langkah berbeda dengan beliau.
Waktu itu panjenengan masih berkomunikasi dengan Cak Nur?
Ya jelas dong. Sekeras apapun perbedaan pandangan saya dengan tokoh lain, saya tetap menyambung tali silaturrahmi. Apalagi Cak Nur. Kalau kamu pernah baca tulisan saya berjudul Tiga Pendekar dari Chichago, Cak Nur adalah salah satunya. Dia bersama Amin Rais dan Syafii Maarif saya anggap sebagai tokoh yang membuat bangsa ini menjadi bangsa yang bermartabat. Setelah kasus itu, saya beberapa kali bertukar pikiran dengan beliau. Kesan saya terhadap Cak Nur masih sama. Beliau seorang intelektual yang hebat.
Saya sampaikan pula waktu itu. Cak, lebih baik Undang-undang No 1/PNPS/1965 tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama ini dihapuskan saja. Sebab rentan disalahgunakan oknum tertentu untuk menyerang orang lain yang bersebrangan dengan dirinya. Di beberapa hal beliau setuju. Di beberapa hal lain beliau memiliki pandangan sendiri. Ya tidak apa-apa. Namanya perbedaan kan rahmat. Yang paling penting dalam menyikapi perbedaan adalah kita mencari titik temunya. Bukan melebarkan perbedaan-perbedaan yang ada. Yang beda jangan disama-samakan. Yang sama jangan dibeda-bedakan. Gitu lho…
Baik, Gus. Saya mulai tercerahkan. Satu hal lagi, Gus. Saat ini salah satu pendekar Chichago yang masih hidup Buya Syafii Maarif jadi bulan-bulanan orang yang tidak sependapat dengannya. Komentar panjenengan?
Biarkan sejarah yang menjawab apakah sikap beliau itu benar atau salah. Dulu saya juga mendapat banyak kritikan karena pendapat-pendapat saya yang melawan arus. Saya terima-terima saja. Toh, Gusti Allah tidak pernah tidur.
Tapi para pencela menggunakan perkataan yang tidak patut?
Itu konsekuensi dari masyarakat yang memahami agama sebagai bentuk luar, bukan ruh. Orang beragama kehilangan sisi spiritualnya. Mereka lupa kalau agama diturunkan untuk membenahi akhlak. Namun saat ini hujatan itu memang semakin keras. Banyak orang mengaku membela agama, tapi menggunakan bahasa-bahasa sarkas, bahkan kekerasan. Membela agama menggunakan bahasa kekerasan itu tidak sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran agama.
Celakanya, si penghujat adalah mereka yang membaca satu buku saja tidak selesai. Mereka mendasari kelakuannya dengan hawa nafsu, kebencian dan amarah. Pesan saya, sebagai orang muda kamu tidak boleh berhenti belajar. Silakan berbeda pendapat dengan siapapun. Yang penting jangan berhenti belajar.
Terima kasih Gus atas waktunya. Terakhir, saya mohon didoakan agar bisa menjadi orang yang terjaga dari segala bentuk kebencian dan fitnah akhir zaman.
Setelah meminta doa, saya pun mohon pamit.
Dikutip sepenuhnya dari :  santrigusdur.com-dur-monit/2016/11/gusor-dan-penistaan-agama/

Islam dan Hak Asasi Manusia



© istimewa

Oleh: Abdurrahman Wahid
Tulisan­tulisan yang menyatakan Islam melindungi Hak Asasi Manusia (HAM), seringkali menyebut Islam sebagai agama yang paling demokratis. Pernyataan itu, seringkali tidak sesuai dengan kenyataan yang terjadi. Justru di negeri­-negeri muslimlah terjadi banyak pelanggaran yang berat atas HAM, termasuk di Indonesia. Kalau kita tidak mau mengakui hal ini, berarti kita melihat Islam sebagai acuan ideal namun sama sekali tidak tersangkut dengan HAM. Dalam keadaan demikian, klaim Islam sebagai agama pelindung HAM hanya akan terasa kosong saja, tidak memiliki pelaksanaan dalam praktek kehidupan.
Di sisi lain, kita melihat para penulis seperti Al­Maududi, seorang pemimpin muslim yang lahir di India dan kemudian pindah ke Pakistan di abad yang lalu, justru tidak mempedulikan hubungan antara Islam dan HAM. Bahkan, baginya hubungan antara Islam dan Nasionalisme justru tidak ada. Nasionalisme adalah ideologi buatan manusia, sedangkan Islam adalah buatan Allah Swt. Bagaimana mungkin mempersamakan sesuatu buatan Allah Swt dengan sesuatu buatan manusia? Lantas, bagaimana­ kah harus diterangkan adanya hubungan antara perkembangan Islam dalam kehidupan yang dipenuhi oleh tindakan­tindakan manusia? Al­-Maududi tidak mau menjawab pertanyaan ini, se­buah sikap yang pada akhirnya menghilangkan arti acuan yang digunakannya.
Bukankah Liga Muslim (Muslim League) yang didukungnya adalah buatan Ali Jinnah dan Liaquat Ali Khan, yang kemudian melahirkan Pakistan, tiga kali berganti nama antara Republik Pakistan dan Republik Islam Pakistan? Bukankah ini berarti campur tangan manusia yang sangat besar dalam pertumbuhan negeri muslim itu? Dan, bagaimanakah harus dibaca tindakan Jenderal Pervez Musharraf yang pada bulan lalu telah memenangkan kepresidenan Pakistan melalui plebisit, bukannya melalui pemilu? Dan bagaimana dengan tuduhan­tuduhannya, bahwa para pemuka partai politik, termasuk Liga Muslim, sebagai orang­orang yang korup dan hanya mementingkan diri sendiri?
Banyak negeri-negeri muslim yang telah melakukan ratifikasi atas Deklarasi Universal HAM, yang dikumandangkan oleh Perserikatan Bangsa­Bangsa (PBB) dalam tahun 1948. Dalam deklarasi itu, tercantum dengan jelas bahwa berpindah agama adalah Hak Asasi Manusia. Padahal fiqh/hukum Islam sampai hari ini masih berpegang pada ketentuan, bahwa berpindah dari agama Islam ke agama lain adalah tindak kemurtadan (apostasy), yang patut dihukum mati. Kalau ini diberlakukan di negeri kita, maka lebih dari 20 juta jiwa manusia Indonesia yang berpindah agama dari Islam ke Kristen sejak tahun 1965, haruslah dihukum mati. Dapatkah hal itu dilakukan? Sebuah pertanyaan yang tidak akan ada jawabnya, karena jika hal itu terjadi merupakan kenyataan yang demikian besar mengguncang perasaan kita.
Dengan demikian menjadi jelas, bahwa di hadapan kita hanya ada satu dari dua kemungkinan: menolak Deklarasi Universal HAM itu sebagai sesuatu yang asing bagi Islam, seperti yang dilakukan al­-Maududi terhadap Nasionalisme atau justru merubah diktum fiqh/hukum Islam itu sendiri. Sikap menolak, hanya akan berakibat seperti sikap burung onta yang menolak kenyataan dan menghindarinya, dengan bersandar kepada lamunan indah tentang keselamatan diri sendiri. Sikap seperti ini, hanya akan berarti menyakiti diri sendiri dalam jangka panjang.
Dengan demikian, mau tak mau kita harus menemukan mekanisme untuk merubah ketentuan fiqh/hukum Islam, yang secara formal sudah berabad­abad diikuti. Tetapi disinilah terletak kebesaran Islam, yang secara sederhana menetapkan keimanan kita hanya kepada Allah dan utusan­Nya sebagai sesuatu yang tidak bisa ditawar lagi. Beserta beberapa hukum muhkamat lainnya, kita harus memiliki keyakinan akan kebenaran hal itu. Apabila yang demikian itu juga dapat diubah­ubah maka hilanglah ke­Islaman kita.
Sebuah contoh menarik dalam hal ini adalah tentang budak sahaya (slaves), yang justru banyak menghiasi al-Qurân dan al- Hadits (tradisi kenabian). Sekarang, perbudakan dan sejenisnya tidak lagi diakui oleh bangsa muslim manapun, hingga secara tidak terasa ia hilang dari perbendaharaan pemikiran kaum muslimin. Praktek­praktek perbudakan, kalaupun masih ada, tidak diakui lagi oleh negeri muslim manapun dan paling hanya dilakukan oleh kelompok­kelompok muslimin yang kecil tanpa perlindungan negara. Dalam jangka tidak lama lagi, praktek semacam itu akan hilang dengan sendirinya.
Nah, kita harus mampu melihat ufuk kejauhan, dalam hal ini kepada mereka yang mengalami konversi ke agama lain. Ini merupakan keharusan, kalau kita ingin Islam dapat menjawab tantangan masa kini dan masa depan. Firman Allah Swt dalam kitab suci al-Qurân, “Semuanya akan binasa dan yang tetap hanya Dzat Tuhanmu (Kullu man ‘alayha fânin. Wa yabqâ wajhu rabbika)” (QS al­Rahman [55]: 26­27) menunjukkan hal itu dengan jelas. Ketentuan ushûl fiqh (Islamic legal theory) “Hukum agama sepenuhnya tergantung kepada sebab­sebabnya, baik ada ataupun tidak adanya hukum itu sendiri (al-hukmu yadûru ma’a‘illatihi wujûdan wa ‘adaman)” jelas menunjuk kepada kemungkinan perubahan diktum seperti ini.
Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) telah melakukan antisipasi terhadap hal ini. Dalam salah sebuah muktamarnya, NU telah mengambil keputusan “perumusan hukum haruslah sesuai dengan prinsip­prinsip yang digunakan”. Ambil contoh masalah Keluarga Berencana (KB), yang dahulu dilarang karena pembatasan kelahiran, yang menjadi hak reproduksi di tangan Allah semata. Sekarang, karena pertimbangan biaya pendidikan yang semakin tinggi membolehkan perencanaan keluarga, dengan tetap membiarkan hak reproduksi di tangan Allah. Kalau diinginkan memperoleh anak lagi, tinggal membuang kondom atau menjauhi obat­obat yang dapat mengatur kelahiran. Jelaslah dengan demikian, bahwa Islam memang menjadi agama di setiap masa dan tempat (shalihun li kulli zamân wa makân). Indah bukan, untuk mengetahui hal ini semasa kita masih hidup?

Dikutip sepenuhnya  dari :http://santrigusdur.com/2015/06/islam-dan-hak-asasi-manusia/

Pertentangan Bukanlah Permusuhan

©istimewa
©istimewa
Oleh: Abdurrahman Wahid
Ketika penulis memberikan ceramah di KSG (Kennedy School of Government) bagi sejumlah orang mahasiswa Universitas Harvard, akhir September 2002 ini, ada pertanyaan dari seorang mahasiswa pascasarjana asal Singapura: mengapakah penulis memusuhi Singapura? Penulis menjawab, bahwa ia memang menolak arogansi sementara para pemimpin Singapura, yang sok tahu tentang perkembangan Islam di Tanah Air kita. Bahkan dua orang pejabat tinggi Singapura menyatakan bahwa “Muslim garis keras” akan memerintah Indonesia dalam waktu 50 tahun lagi.
Penulis menyatakan melalui jawaban lisan —ia menjawab melalui beberapa buah media massa Indonesia yang masih mau memuat pernyataannya, bahwa kita tidak perlu mendengarkan pendapat kedua orang pemimpin Singapura tentang Islam di negeri ini, karena mereka tidak tahu apa-apa tentang agama tersebut.
Jawaban penulis ini, menunjuk pada sebuah perkembangan penting di negeri kita. Karena sebelumnya, para pemimpin kita di masa lampau menerima suapan dari sejumlah tokoh Singapura, lalu mereka berada pada posisi bergantung pada ekonomi Singapura. Karena itu, timbulah arogansi di kalangan sementara tokoh negeri itu. Dari arogansi ini, lalu timbul sikap mementingkan pihak yang tidak penting, dan memberikan penilaian yang terlalu tinggi terhadap mereka. Termasuk dalam sikap ini, pandangan sangat merendahkan terhadap kaum Sunni tradisionalis seperti yang ada di lingkungan Nahdlatul Ulama.
Selain itu, karena penulis tidak mau menggunakan kekerasan untuk mempertahankan jabatan negara, sebagai presiden yang berfungsi menjadi kepala negara sekaligus kepala pemerintahan, sikap itu dianggap mereka sebagai kelemahan. Mereka tidak percaya, bahwa demokrasi melalui pemilihan umum akan memberikan penilaiannya sendiri. Apalagi karena memang para tokoh Singapura itu tidak percaya pada demokrasi dan memperlakukannya secara manipulatif.
Begitulah pandangan seorang tokoh yang dianggap sudah mendunia, padahal postulat-postulat yang digunakannya hanya berasal dari kalangan elitis belaka. Tokoh tersebut, tidak pernah menyadari bahwa dunia baru sedang menggeliat, bangun dari tidurnya selama berabad-abad. Dunia baru itu mengembangkan postulat-postulat dan premis-premisnya sendiri, yang harus ditangkap dengan jitu, agar tidak terjadi hal-hal yang merugikan semua pihak. Termasuk di dalamnya, kaum Muslimin moderat yang sanggup mempertahankan keyakinan agama mereka, sambil menyerap hal-hal baik dari kemajuan pengetahuan dan teknologi modern.
Jelaslah dari uraian di atas, penulis tetap menganggap penting kemajuan pengetahuan dan teknologi Singapura, namun penulis tetap beranggapan bahwa Singapura juga memiliki keterbatasannya sendiri. Ini berarti, sikap arogan dari sejumlah tokoh mereka terhadap Indonesia dan Islam harus dihilangkan, jika diinginkan tetap ada hubungan baik antara kedua negara.
Penulis sendiri sangat menghargai kemampuan bangsa Singapura untuk maju dengan cepat, walaupun terkadang dicapai atas kerugian bangsa-bangsa lain di sekitarnya. Jadi harus dicari bagaimana mempertahankan kemajuan yang dicapai, sambil menghargai dengan sungguh-sungguh upaya bangsa-bangsa sekitar untuk maju dengan cara mereka sendiri.
Sikap memandang rendah bangsa dan negara lain —betapa canggihnya sekalipun ia dibungkus—, tetap akan tampak dalam jangka panjang. Inilah yang membuat orang-orang seperti penulis berbeda pandangan dari tokoh-tokoh arogan Singapura itu. Walaupun penulis berbeda pandangan dari tokoh-tokoh tersebut, namun ia tidak memusuhi bangsa Singapura. Sebagai penganut paham non-hegemonik hubungan internasional, penulis sangat menghargai bangsa Singapura.
Tetapi ini tidak berarti penulis menganggap Singapura patut menjadi contoh bangsa dan negara kita. Tentu saja persoalan-persoalan yang dihadapi negara-kota (city state) —yang sangat kecil seperti Singapura—, tidak sama dengan masalah-masalah yang dihadapi negara-bangsa (nation state) seperti Indonesia, yang memiliki lebih dari 200 juta penduduk dan memiliki wilayah ribuan kilometer.
Dengan sendirinya, para pemimpin negara kita harus memiliki wawasan dan kebijakan (policy) sendiri, yang akan melahirkan kebijaksanaan (wisdom) dalam menangani berbagai masalah dalam menghadapi bermacam-macam sikap, termasuk arogansi tokoh-tokoh negara lain sekecil Singapura itu.
Penulis teringat ungkapan CEO (Chief Excutive Officer), pejabat eksekutif tertinggi General Motors, beberapa puluh tahun yang lalu, yaitu Charlie “Engine” Wilson, bahwa apa yang baik bagi perusahaan tersebut, juga baik bagi Amerika Serikat, tidak berlaku dalam hubungan internasional antara Indonesia dan Singapura.
Jelaslah dengan demikian, apa yang baik bagi Singapura, belum tentu baik bagi Indonesia. Sekarang saja, ketika komplek serba ada seperti ITC di Mangga Dua sudah berfungsi, Singapura sudah kewalahan menarik para pembeli kita. Demikian juga, hotel-hotel mereka yang dahulu memanfaatkan konsumen dari negara kita, sekarang juga dibuat pusing oleh sulitnya menarik para pembeli bangsa kita.
Bangsa Singapura harus menyadari, pola hubungan berketergantungan antara negara mereka dengan Indonesia-Malaysia-Thailand-Brunei Darussalam, adalah pola hubungan tidak normal, yang pada suatu ketika akan kontraproduktif dan merugikan Singapura sendiri. Ini berarti, sikap arogan terhadap bangsa-bangsa dan negara-negara sekitar, haruslah diakhiri.
Hubungan baru harus segera dibuat atas dasar saling penghormatan dan kesadaran masa depan bersama yang akan penuh rintangan. Sekarang saja, tekanan kegiatan ekonomi ASEAN sudah berpindah dari kawasan selatan ke kawasan utara persekutuan tersebut. Proyek Delta Mekong yang melibatkan Thailand-Kambodia-Vietnam-Laos dan Myanmar merupakan titik baru ekonomi regional, walaupun proyek jalan raya, pelayaran maupun penerbangan BIMP-EAGA¹ (Filipina-Brunei-Malaysia-Indonesia dan kawasan pengembangan ASEAN Timur) masih tersendat-sendat.
Kesadaran bersama ini mengambil bentuk bermacam-macam. Indonesia, umpamanya, lebih mementingkan pelabuhan samudera. Sementara upaya mengatasi kebakaran hutan yang mengganggu negara-negara tetangga, adalah antara lain dengan mempertimbangkan usulan Ir. Erna Witoelar agar kelompok-kelompok masyarakat memiliki dan mengelola daerah-daerah pinggiran hutan, agar mereka turut bertanggungjawab dalam memelihara kelebatan hutan, karena ditakutkan akan merembet ke kawasan yang mereka miliki.
Juga, kelestarian sumber-sumber alam, seperti batu-bara, minyak bumi, gas alam serta barang tambang lainnya, akan membawa perubahan besar-besaran dalam mengelola ekonomi di masa depan. Di sini yang dipentingkan adalah bagaimana meningkatkan taraf hidup rakyat kebanyakan, agar mereka turut bertanggungjawab atas kelestarian sumber-sumber alam tersebut.
Ini semua berarti, Indonesia akan membuka diri terhadap masuknya investasi asing. Kalau ini yang selalu diingat, hubungan Indonesia dengan negara-negara tetangganya, atas dasar prinsip saling menghormati, akan menjadi lancar dan mendorong stabilitas kawasan. Dan, hal itu berarti harus ada penyeimbangan kepentingan nasional masing-masing negara, di satu sisi dan kepentingan bersama bagi kawasan yang memiliki kolektifitasnya sendiri, di sisi lain.[]

Repost from : http://santrigusdur.com/2016/08/pertentangan-bukanlah-permusuhan/

 
Copyright © 2014 Gusdurian Lumajang. Designed by OddThemes | Distributed By Gooyaabi Templates