BREAKING NEWS

Kamis, 29 September 2016

NU dan Islam di Indonesia Dewasa Ini

Oleh: K. H. Abdurrahman Wahid Walaupun muncul cukup banyak tulisan tentang Nahdlatul Ulama (NU), namun belum ada tulisan yang secara tuntas menyoroti organisasi sosial-keagamaan ini melalui beberapa pendekatan yang saling berkait. Umumnya tulisan itu hanya menekankan satu atau dua aspek tertentu saja, sehingga seringkali terjebak oleh penonjolan aspek-aspek yang menjadi fokusnya, dan mengecilkan aspek-aspek lain yang sama penting peranannya dalam kehidupan NU sendiri. Sebuah contoh dapat dikemukakan di sini, yaitu tulisan Mitsuo Nakamura tentang Muktamar XXVI NU di Semarang 1979. Nakamura mencoba menelusuri sebuah ciri utama NU yang jarang terlihat pada organisasi lain, yaitu hirarki kepemimpinannya yang tidak terbangun vertical, melainkan horizontal. Dalam acuan seperti itu, pemimpin NU di tingkat nasional harus pandai memanfaatkan pengaruh besar para ulama di tingkat daerah-baik lokal maupun provinsi- apabila ingin bertahan dalam kepemimpinan mereka. Pemanfaatan seperti itu dilakukan oleh K.H. Idham Chalid, ketua PBNU waktu itu yang mampu mengidentifikasikan dirinya sebagai pemimpin nasional yang tunduk kepada kekuasaan ulama daerah yang datang ke muktamar tersebut. Misalnya saja, menurut Nakamura, Idham Chalid menerima kritik-ritik tajam yang ditujukan kepada pengurus besar yang dipimpinnya. Dengan meminta maaf atas segala kesalahan dan kekurangan yang ada pada periode kepemimpinannya, ia mengajak seluruh peserta muktamar untuk melakukan perbaikan-perbaikan dalam periode kepemimpinan berikutnya. Kebalikan sikap itu justru diperlihatkan oleh saingannya yang terkuat, K.H. A. Sjaichu, yang dengan semangat bela dirinya justru menampilkan atraksi “orang atas” yang tidak mengikuti kehendak para ulama daerah. Dalamstruktur kekuasaan yang lebih berat kepada “kekuasaan orang daerah” dengan sendirinya pendekatan Idham Chalid terasa lebih simpatik. Sepintas lalu, konstruk (kerangka penjelasan) yang dibuat Nakamura itu mampu melakukan analisis atas perkembangan terakhir dalam tubuh NU, yaitu “pemberontakan” para kiai kepada kepemimpinan Idham Chalid sejak pertengahan tahun 1982 dan belum usai pada waktu tulisan ini dibuat. Seolah-olah para Ulama daerah seperti K.H. As’ad Syamsul Arifin dari pesantren Salafiyah Sukorejo di Situbondo, akhirnya menilai kepemimpinannya terlalu dititik beratkan pada “kepentingan orang Jakarta”. Bahkan tampaknya konstruk itu menjadi ‘lebih baku” dengan bobot berat dari keputusan Musyawarah Alim Ulama NU di Situbondo diujung tahun 1983, yang secara final mampu menyelesaikan masalah utama hubungan antara Islam sebagai “jalan hidup” di satu pihak dan Pancasila sebagai landasan kehidupan bernegara di pihak lain. Penyelesaian yang tidak hanya terasa bobotnya bagi semua pihak di lingkungan NU sendiri saja, melainkan juga bagi semua gerakan Islam yang ada di seluruh Indonesia saat ini. Bukan Idham Chalid sebagai tokoh nasional yang mewakili NU di tingkat tertinggi pemerintahan yang berbicara atas nama seluruh warga NU dengan suara meyakinkan dalam masalah tersebut, melainkan justru “ulama desa” (kiai As’ad) yang secara mutlak mewakili mereka. Seolah-olah dengan perkembangan terakhir itu keabsahan konstruk Nakamura tentang NU sudah kukuh dan tidak mudah di goyahkan. Namun, terlepas dari sudut pandangan baru yang dikemukakannya tentang NU, yang dulu belum pernah dikemukakan oleh para pengamat lain, Nakamura ternyata tidak memberikan tempat dominan kepada aspek-aspek lain dari pola pergulatan kekuasaan dalam lingkungan NU, dan hanya berpuas diri dengan tekanan pada aspek “watak horizontal” hierarki kepemiminan dalam NU belaka. Tentu saja lalu tidak tertangkap dampak dekatnya hubungan Idham Chalid dengan para pejabat tinggi pemerintah, sesuatu yang tidak dimiliki Sjaichu. Juga kemampuan Idham Chalid untuk membuat aliansi efektif antara semua pihak yang menakuti “dominasi Jawa timur”, dengan antara lain kuatnya isu “dinasti Jombang” menjelang dan selama Muktamar berlangsung. Belum lagi kalau dilihat dari segi kemampuan Idham Chalid untuk mengumpulkan dalam satu barisan dua aspirasi yang sebenarnya saling bertentangan , yaitu; kemuakan pada ‘terpolitisasi’ yang berjalan terlalu jauh dalam NU (dan yang mendambakan kehidupan organisasi yang penuh diisi kesalehan ritualistic) di satu pihak dengan kebanggaan ‘akan kekuatan politik’ NU yang begitu besar jumlahnya. Teknik-teknik yang digunakan Idham Chalid untuk melakukan pembauran antara kedua kecenderungan di atas tanpa terlalu diganggu oleh perbenturan serius, merupakan lahan kajian yang sangat menarik tentang perilaku politik dan budaya politik yang sangat komplek dari kaum santri. Dari sedikit ulasan di atas nyatalah bahwa konstruk yang selalu menekankan satu dua aspek kehidupan NU saja, sulit digunakan untuk mencapai hasil yang memuaskan. Hal inilahyang dirasakan oleh Sidney Jones, yang melakukan kajian mendalam tentang NU di daerah Kediri dalam rangka mempersiapkan disertasinya. Penelitian lapangan yang dilakukannya dalam tahun1982 berusaha menangkap kompleksitas kehidupan NU. Dari diskusi dengan pengamat wanita dari Amerika Serikat ini dapat dikenal beberapa pola yang melandasi corak kepemimpinan NU ketika menjadi partai politik, pada tahun-tahun lima dan enam puluhan. Pola-pola itu saling berkait satu dengan yang lainnya seperti antara besarnya charisma kiai dan dampaknya pada lapisan kepemiminan organisatoris antara ulama organisasi, polisi mubaligh dan pemimpin penghubung dengan pemerintah. Kiai sebagai pemimpin tertinggi jaringan tersebut harus senantiasa melayani kebutuhan mereka masing-masing, dan sekaligus memasukkan aspirasi warga biasa NU di tingkat bawah melalui jaringan “pola ganda” hierarki kepemimpinan NU itu. Namun ada bahaya mengintai, jika pendekatan “kompleksitas jaringan hubungan” itu tidak mampu melepaskan diri dari kerangka acuan pendekatan sosial ekonomis seperti hubungan klien-patron dan konstruk-konstruk sejenis. Bahwa kepentingan bersama dalam jaringan sosial ekonomis turut mewarnai “jaringan kompleks”, jelas tak dapat disangkal lagi. Namun adalah terlalu jauh untuk menganggap “pola kepentingan sosial ekonomis” sebagai satu-satunya kerangka acuan yang dapat menjelaskan secara gambling pola-pola utama kehidupan NU. Pendekatan budaya politik, seperti yang dilakukan Don Emerson tentang ‘kepemimpinan di lingkungan golongan Islam”, mungkin akan memberikan hasil lebih baik. Namun, sebuah kerangka acuan juga tidak akan banyak hasilnya untuk menafsirkan pola-pola kehidupan dalam sebuah kelompok masyarakat , jika tidak ditunjang oleh pengetahuian mendalam akan ciri-ciri berbagai pola pemahaman warga kelompok itu akan hakikat kelompok itu sendiri. Tulisan ini sedikit banyak bermaksud untuk mengemukakan beberapa aspek pemahaman hakikat organisasi mereka di kalangan warga NU sendiri. Diharapkan, dengan inventarisasi fase-fase kehidupan NU seperti itu terlebih jauh di masa datang, akan terkumpul informasi yang cukup untuk mengenal tipologi berbagai prilaku kolektif NU sebagai sebuah gerakan soaial keagamaan di kalangan kaum muslimin Indonesia . kongkretisasi pendekatan seperti ini dengan menerapkan menampilkan sebuah liputan berdimensi ganda, namun tetap dikenal batas-batas wilayah permasalahannya. Ia dapat disusul dengan tinjauhan dari aspek lain di kemudian hari yang akan memberikan informasi akumulatif yang membentuk sudut penglihatan yang bulat tentang NU. Kaitan NU dan Perkembangan Islam Aspek-aspek utama dari pengaitan NU kepada proses perkembangan Islam di Indonesia dapat dilihat pada hal-hal berikut: tradisi keilmuan yang dikembangkannya, pandangan kemasyarakatan yang dimilikinya, cara pengambilan keputusan umum yang digunakannya, dan proses rekonsiliasi internalnya, jika terjadi perbedaan pandangan yang tajam. Kesemua aspek utama itu berkait satu sama lain , dan seringkali berfungsi saling tumpang tindih, walaupun secara keseluruhan berpola saling menunjang. Tradisi keilmuagamaan yang dianut NU, sebagaimana telah dikemukakan oleh Zamakhsyari Dhofier dan Sidney Jones dalam salah satu tulisannya dan yang sebenarnya telah dikemukakan secara terbuka oleh warga NU sendiri sejak permulaan-bertumpu pada pengertian tersendiri tentang apa yang oleh NU disebut Aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah. Doktrin tersebut berpangkal pada tiga buah panutan ini; mengikuti paham al-Asy’ari dan al-Maturidi dalam bertauhid (mengesakan Allah dan mengakui keutusan Muhammad), mengikuti salah satu mazhab fiqh yang empat (Hanafi, Maliki, syafi’I dan Hambali) dan mengikuti cara yang ditetapkan al-Junaid al-baghdadi dalam bertarekat atau bertasawuf. Berbeda dari pandangan kelompok-kelompok lain, seperti Muhammadiyah dan Persis kedua-duanya hanya menerima skolatisisme al-Asy’ari sebagai landasan kedunian mereka), NU mengembangkan tradisi keilmuagamaan paripurna telah membagi siklus kehidupan para warganya dalam sejumlah lingkaran kegiatan atau bidang perhatian yang baku. Dalam berfiqh, mereka telah mengembangkan tidak hanya literature keputusan hukum agama dalam sekala massif sebuah corpus magnum berjudul al-Majmu’, komentar atas Muhadzab , terdiri dari empat belas jilid dengan rata-rata 400 halaman perjilidnya, melainkan juga cara-cara untuk menyusun pemikiran hukum (legal maxim, qawaidul fiqh), menentukan bentuk akhir keputusan hukum yang akan diambil jika kondisinya dan persyaratan yang melatarbelakangi sesuatu masalah yang tadinya sudah diputuskan telah mengalami perubahan. Disinilah terletak dinamika pengembangan hukum agama melalui fiqh dapat dilakukan, walaupun dalam batasan-batasan yang masih tetap ketat. Di pihak lain bidang tasawuf memberikan bobot kedalaman spiritualitas penghayatan agama warga NU, jika telah diikuti pola hidup serba berfiqh dalam kehidupan sehari-hari. Dalam bahasa pengamatan sarjana masa lampau yang melihatnya dari luar, seperti H.J.de Graaf dan Theodore Pigeaud, anutan pada tasawuf ini disebut pemujaan pada wali songo. Sudah tentu masalahnya tidak sesederhana ini, melainkan pelaksanaan dalam kehidupan sehari-hari doktrin yang utuh tentang hierarki kesalehan (piety) atau derajat-derajat ketaqwaan pada Allah, berkat (grace, barokah) yang memungkinkan intervensi hubungan seorang hamba kepada Tuhannya, dan seterusnya. Spiritualitas yang dikonkretkan kedalam rangkaian kegiatan ritualistic yang intensif seperti ini memungkinkan adanya “penyiraman jiwa” dari kekeringan penghayatan iman dan kemiskinan batin, sehingga terpelihara kontinuitas antara pandangan serba fiqh di satu ujung dan intensitas penghayatan iman yang tinggi di ujung lain, membentuk sebuah kesejarahan (historicity) tersendiri. Inti dari tradisi keilmuan yang dianut NU adalah perpautan organis antar tauhid, fiqh dan tasawuf secara tidak berkeputusan, yang dalam jangka panjang menumbuhkan pandangan terpautnya sendiri antara dimensi duniawi dan ukhrawi dari kehidupan ini merupakan mekanisme kejiwaan yang berkembang di lingkungan NU untuk menghadapi tantangan sekularisme terang-terangan (blatant) yang timbul dari proses modernisasi. Fiqh dan Kebebasan Negara. Daritardisi keilmuagamaan seperti itu sudah tentu logis kalau lalu muncul pandangan kemasyarakatan yang tidak bercorak “hitam-putih”. Perpautan kedua dimensi duniawi dan ukhrawi dalam kehidupan manusia tidak memungkinkan penolakan mutlak kepada kehidupan dunia maupun kehidupan akhirat. Dengan kata lain, seburuk-buruk kehidupan dunia, ia haruslah dijalani dengan kesungguhan dan ketulusan. Hal ini sudah tentu ada implikasinya sendiri kepada pandangan kenegaraan yang dianut warga NU yang masih belum kehilangan tradisi keilmuannya. Kewajiban hidup bermasyarakat, dan dengan sendirinya bernegara, adalah sesuatu yang tidak boleh ditawar lagi. Eksistensi negara mengharuskan adanya ketaatan kepada pemerintah sebagai sebuah mekanisme pengaturan hidup, yang dilepaskan dari perilaku pemegang kekuasaan dalam kapasitas pribadi. Kesalahan tindakan atau keputusan pemegang kekuasaan tidaklah mengharuskan adanya perubahan dalam sistem pemerintahan. konsekuensi pandangan ini adalah keabsahan negara begitu ia berdiri dan mampu bertahan, dan penolakan sistem alternative sebagai pemecahan masalah-masalah utama yang dihadapi suatau bangsa yang telah membentuk negara. Dengan demikian, cara-cara yang digunakan dalam melakukan perbaikan keadaan senantiasa bercorak gradual. Pandangan tentang negara barulah akan bersifat penolakan bentuk yang ada, jika keseluruhan tradisi keilmuan yang dianut NU telah memberikan legitimasi untuk itu seperti terjadi dengan “fatwa perang jihad” yang dikeluarkan Rais Akbar NU K.H. Hasyim Asy’ari pada permulaan perang kemerdekaan, yang mendukung bentuk negara baru Republik Indonesia. Ketentuan yang sama itu juga yang membuat NU menolak kehadiran “Negara Islam Indonesia” yang didirikan oleh Kartyosuwiryo, bahkan sejak semula para ulama NU telah menyatakannya sebagai bughat (pemberontak) yang harus dibasmi. Untuk keperluan itulah, dikukuhkan kedudukan Kepala Negara republik Indonesia menjadi waliyyul amri dharuri bi syaukah (pemegang pemerintahan sementara dengan kekuasaan penuh), oleh sebuah pertemuan ulama yang didominir ulama NU. Presiden RI diterima sebagai pemegang pemerintahan, karena negara telah ada dan harus ada yang memimpin. Kedudukannya bersifat sementara (hingga hari kiamat), karena ia tidak dipilih oleh ulama yang berkompeten untuk itu (ahlul halli wal aqdi), melainkan melalui proses lain, sehingga sepenuhnya tidak memiliki keabsahan di mata hukum fiqh. Namun kekuasaannya tetap efektif, karenannya ia berkuasa penuh. Atas dasar kekuasaan itu, ia berwenang mengangkat pejabat-pejabat agama melalui pendelegasian wewenang itu kepada menteri agama. Misalnya saja, penunjukan ketua pengadilan agama sebagai wali hakim dalam kasus-kasus tidak adanya wali bagi gadis dalam pernikahan. Wali hakim (legal guardian) adalah keharusan dalam keadaan seperti itu, guna memperoleh keabsahan perkawinan yang diselenggarakan dari sudut pandang fiqh. Pendekatan serba fiqh atas masalah-masalah kenegaraan itulah yang membuat NU relative lebih mudah menerima ketentuan pemerintah tentang asas Pancasila dalam kehidupan berorganisasi dewasa ini. Dalam pandangan fiqh asas Pancasila adalah salah satu dan sekian buah persyaratan bagi keabsahan negara republik Indonesia; hal itu pun bukannya persyaratan keagamaan sama sekali. Dengan sendirinya tidak ada alasan apapun untuk menolaknya, selama ia tidak berfungsi menggantikan kedudukan agama dalam kedudukan organisasi yang bersangkutan. Islam sendiri dapat saja diletakkan dalam kedudukan yang berbeda-beda dalam kehidupan organisasi, dalam kurun waktu yang berlainan. Pada suatu saat ia jadikan asas, di waktu lain dijadikan landasan keimananaqidah), karena masalahnya hanyalah sekedar pencapaian legitimasi dalam pandangan fiqh. Karenanya, tuduhan oportunistik dalam watak politik NU tidaklah tepat. NU seringkali mengeluarkan keputusan yang secara sepintas lain tampak dibuat sembarangan, yang memenuhi selera penguasa pada satu saat, yang sangat bersifat akomodatif terhadap kepentingan pemerintah pada saat itu. Oportunisme NU itupun seringkali dijadikan kambing hitam bagi tidak konsistennya “perjuangan Islam” di Indonesia, dan menjadi casus belli perbedaan tajam dalam strategi perjuangan yang dianut sebagai gerakan Islam di negeri ini. Tuduhan itu dikatakan tidak tepat, karena bagi NU pedomannya bukanlah “strategi perjuangan politik” atau ‘ideologi Islam” dalam artiannya yang abstrak, melainkan keabsahan di mata hukum fiqh. Fiqh menentukan asas organisasi sebagai halnya salah satu persyaratan hidupnya, sedangkan “landasan keagamaan” dapat saja dirumuskan di bagian lain dari anggaran dasarnya , seperti dibuat Munas Alim Ulama NU Situbondo yang meletakannya dalam Mukaddimah Anggaran Dasar NU yang akan diubah oleh Muktamar XXVII nanti. Ini memungkinkan penerimaan asas Pancasila. Fiqh menentukan absahnya kekuasaan Presiden RI sebagai pemegang pemerintahan, karena ia harus ditunduki dan dipatuhi, di hadapan sebuah Negara Islam Indonesia sekalipun ! Dengan meletakan kunci masalah pada pengesahan hukum fiqh, NU mampu melakukan sebuah proses penyesuaian dengan tuntutan sebuah negara modern, walaupun dalam aspek kenegaraan pandangan serba fiqh itu juga sering merupakan “hambatan” bagi pemegang pemerintahan untuk melaksankana wewenangnya. Yang jelas, pandangan seperti itu, bagaimana pun juga, akan sering berbenturan dengan pandangan yang memperlakukan Islam sebagai ideology kemasyarakatan, apalagi ideology politik. Upaya menampilkan Islam sebagai ‘jalan hidup alternatif’ yang membentuk sistem kemasyarakatan baru di luar yang telah ada, jelas sulit diterima oleh para ulama NU, kecuali jika telah menjadi bentuk kenegaraan yang memiliki wukud penuh dan mampu mempertahankan diri, seperti Iran, Libya dan Saudi Arabia dewasa ini. Landasan penolakan sistem alternative ‘Islam’ atau adalah keabsahan bentuk negara yang telah ada. Namun, itu tidak berarti jalannya pemerintahan- juga lain terlepas sama sekali dari kendala keagamaan. Bahkan oleh NU diajukan tuntutan agar kebijaksanaan pemerintah senantiasa disesuaikan kepada ketentuan-ketentuan fiqh, sehingga sikap itu sendiri sering diterima oleh kalangan pemerintahan sendiri sebagai ‘hambatan’ di kala melaksanakan wewenang mereka. Untuk kepentingan penilaian apakah jalannya pemerintahan tidak bertentangan dengan ketentuan fiqh, digunakan tolak ukur berupa sejumlah kaidah fiqh, seperti “kebijaksanaan kepada pemerintahan harus mengikuti kesejahteraan rakyat” (tasharruful imam ‘ala al-raiyyah manutun bil mashlahah). Bentuk formal pemerintahan dengan demikian tidaklah menjadi permasalahan bagi NU, selama masih diikuti pola perilaku formal negara yang tidak bertentangan dengan hukum fiqh. Kasus-kasus penyimpangan dari “pola umum” perilaku formal negara itu tidaklah sampai kepada penolakan bentuk kenegaraan dan proses pemerintahan yang sudah ada. Sebagaimana yang dikemukakan Menteri Agama Munawir Syadzali dalam sebuah kesempatan, pemikiran para teoritis politik yang besar dalam Islam bukanlah mencari pola idealisasi bentuk kenagaraan yang telah ada. Ibn Abdi Rabbih, Al-Ghazali, Ibn Taimiyyah, Ibn Khaldun dan al-Mawardi jelas-jelas menempuh perbaikan keadaan secara gradual, dengan mencoba mencarikan masukan dari fiqh untuk menyempurnaan bentuk-bentuk negara yang telah ada. Hanyalah al-ffarabi yang mencoba menyusun sebuah utopia berjudul “Negara Utama” (al-Madinah al-fadlilah). Kasus-kasus penyimpangan haruslah ditangani secara kasusistik, bukannya dengan menolak kehadiran negara dan mengubah bentuk pemerintahannya. Pola berfikir seperti itu jelas harus dikaitkan dengan proses pengambilan keputusan di lingkungan NU sendiri, yang mengutamakan konsesus dalam artiannya yang paling luas. Fiqh, yang dirumuskan oleh para ulama NU sebagai “pengetahuan tentang hukum-hukum agama yang ditarik dalil-dalil sumbernya”, memberikan peluang sebesar-besarnya bagi semua pendapat untuk muncul dalam perdebatan mengenai sesuatu permasalahan. Spectrum pandangan yang begitu luas, dari yang menyetujui hingga kepada yang menolak sesuatu usul, kemudian akan mengendap menjadi hanya dua atau tiga pendapat utama saja, masih dalam pola setuju atau menolak. Namun, masing-masing memiliki alasannya sendiri yang kuat, sehingga tidak dapat demikian saja diabaikan. Dari posisi seperti itu, akhirnya dipertemukan dalam sebuah sidang yang akan memformalkan pendapat akhir, seperti terjadi pada Munas Alim Ulama di Situbondo. Dalam keadaan tidak dapat dicarikan pemecahan dan disepakati bersama, diambil keputusan untuk mengakui dua atau tiga pendapat utama sebagai pendapat yang sama-sama mengandung kebenaran. Dalam keadaan seperti itu, maka pendapat manapun yang digunakan oleh para warga NU tidak akan disalahkan oleh pihak yang berbeda pendapat. Kasus ini dapat dilihatdalam pendapat tentang DPR-GR (Dewan Perwakilan Rakyat-Gotong Royong) pada tahun 1960-an, dengan adanya dua pendapat yang saling bertentangan. Pendapat pertama menganggap adalah wewenang kepala negara untuk membekukan lembaga-lembaga perwakilan , jika dinilainya keadaan mendesak dan dapat menjadi keadaan darurat (al-hajat yanzilu manzilata al-dharurah). Jadi ada keperluan untuk membekukan lembaga perwakilan yang ada, dan dengan sendirinya diperlukan gantinya. Karena tidak mungkin diselenggarakan pemilihan umum, kepala negara menggunakan wewenangnya untuk menyusun keanggotaan lembaga perwakilan baru dari keanggotaan lembaga perwakilan yang lama. Pendapat kedua menganggap tidak sah pembubaran DPRhasil pemilihan umum 1955, karena itu berarti kepala negara menyerobot hak rakyat tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya. Jika DPR tidak sah pembubarannya dengan sendirinya tidak dapat digantikan oleh DPR-GR. Dalam keadaan macet dan tidak dapat dipertemukan antara kedua pendapat itu, terbuka kemungkinan untuk menerima keanggotaan DPR-GR bagi yang menyetujui pembentukannya, dan juga disahkan penolakan oleh mereka yang tidak menerima keabsahan pembentukannya. Mekanisme “setuju untuk tidak bersetuju” (agree to disagree) itu menjamin adanya proses tolak-angsur yang sangat fleksibel dilingkungan pengambilan keputusandalam NU, sehingga dapat terjaga keutuhan organisasi yang senantiasa dipenuhi perbedaan pendapat itu. Walaupun ada juga kelemahan mekanisme pengambilan konsesus untuk setuju (dan juga untuk tidak setuju)seperti itu, seperti lamanya proses pengambilan keputusan dan tidak jelasnya pendapat organisasi dalam suatu masalah; yang jelas ia berhasil menjamin keutuhan NU, tidak sampai pecah menjadi dua seperti organisasai lain. Demikian pula, dalam hal yang disepakati keputusan atasnya, lalu terjadi penerimaan yang tuntas atasnya oleh semua kalangan. Sebuah kelemahan lain dari sistem pengambilan keputusan berdasarkan kosnsesus itu adalah relative mudahnya dijaga status quo dan sulitnya dilakukan perubahan dalam tubuh NU. Mekanisme “membenarkan dua pendapat” di atas belum tentu berarti mudahnya dilakukan percobaan untuk mengubah keadaan. Sebuah cara yang digunakan untuk menembus status quo itu adalah dengan cara “membudayakan terobosan”. Mereka yang ingin melakukan perubahan, harus memulainya di lingkungan sendiri, sudah tentu pula dengan risiko ditanggung sendiri jika mengalami kegagalan. Jika telah dibuktikan hasil positif dari upaya rintisan itu, barulah akan muncul pengakuan (dan kemudian peniruan) dari kalangan warga NU yang lain, semuanya dalam waktu yang relative tidak terlalu lama. Hal ini dapat dilihat dalam kasus madrasah Nizamiah yang dirintis oleh K.H.A. Wahid Hasyim di Pesantren Tebuireng, Jombang, semasa hidup ayahnya, berupa sebuah sistem pendidikan agama dengan kurikulum campuran pada dasawarsa 1930-an. Ternyata dalam waktu tidak sampai sepuluh tahun, upaya ritisan itu telah menjadi model utama bagi ratusan madrasah lain yang telah melihat sendiri kualitas tinggi dan para alumninya. Dengan “budaya terobosan’ seperti itulah derajat toleransi terhadap inovasi di lingkungan NU ternyata menjadi cukup besar. Islam Abad Ini Apa yang diterangkan NU di atas, sebenarnya memilik relevansi sangat tinggi bagi perkembangan Islam di Indonesia dalam abad ini. Pada saat permulaan kebangkitan kaum muslimin di Indonesia, dalam dasawarsa pertama dan kedua abad ini para ulama yang dikemudian harinya mendirikan NU, telah sepakat untuk menerima “gerakan islam” sebagai wahana penyaluran aspirasi umat Islam, baik melalui Serikat dagang Islam (SDI) maupun Serikat Islam (SI) beberapa tahun kemudian. Baik atau buruk akibatnya bagi proses pembentukan bangsa Indonesia di kemudian harinya, keputusan tersebut jelas memberikan dukungan charisma kepada sebuah gagasan pengelompokan modern. Melalui NU sendiri, dalam dasawarsa ketiga dan keempat abad ini, NU memberikan dukungannya kepada aspirasi perjuangankemerdekaan berkulminasi dalam lahirnya negara republik Indonesia sebagai sebuah negara non-teokratis. Melalui berbagai jenis pengalaman, akhirnya pada saat ini NU merupakan salah satu wajah utama moderasi di lingkungan gerakan Islam di Indonesia. Sikapnya untuk memberikan tempat menentukan kepada Pancasila dalam kehidupan kita sebagai bangsa, jelas sekali menunjukkan peranan moderasi seperti itu. Watak mencari pemecahan gradual atas segenap persoalan yang dihadapi seperti itu, justeru bertentangan dengan semakin meluasnya kecenderungan untuk menyajikan Islam sebagai ‘alternatif jalan hidup” bagi kemelut yang telah ada. Militansi gerakan “Islam sebagai alternative” ternyata tidak mampu menembus benteng kukuh dari sikap serba moderat yang dimiliki NU. Dengan tidak menutup mata terhadap adanya kelompok seperti itu di kalangan generasi muda NU sendiri, secara umum dapatlah dikatakan bahwa NU mampu bertahan terhadap gempuran “Islam garis keras” yang ditampilkan oleh kelompok-kelompok militant tersebut. Integrasi nasional kita sebagai bangsa sebenarnya tengah diuji oleh kelompok-kelompok sectarian yang serba militant itu, sehingga peranan NU untuk mengurangi gangguan-gangguan terhadap integrasi nasional itu merupakan suatu hal yang patut direnungkan dalam diri kita. Namun, peranan untuk memantapkan keadaan dan mengurangi dampak dari pemunculan sektarianisme itu juga harus dijaga agar tidak hanya berhenti pada pemberian legitimasi kepada status quo belaka, melainkan diarahkan kepada perubahan keadaan secara gradual dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Proses demokrasi kehidupan politik dan kehidupan pemerintahan, sebenarnya memerlukan penanganan melalui rangkaian kegiatan sangat kompleks, baik oleh mereka yang berada di lingkugan pemerintahan maupun di luarnya. Adalah tidak bijaksana untuk mementingkan pandangan sectarian yang hanya mengutamakan kebenaran pihak sendiri belaka, walaupun itu berasal dari lingkungan gerakan Islam, dengan membahayakan proses integrasi nasional yang telah mencapai tahap krotis dalam konsolidasi dirinya. Akibatnya adalah keretakan yang mungkin tidak akan dapat dijembatani lagi, antara “golongan Islam” dan golongan-golongan lain di luarnya. Peranan NU dalam hal ini harus diarahkan kepada penciptaan sebuah “konsesus nasional” yang baru tentang tempat Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dimulai dengan penerimaan “pihak Islam” atas ideology negara secara tuntas, seperti dibuktikan denganpenerimaan atas Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan organisasi kemasyarakatan, langkah-langkah itu harus dilanjutkan dengan pengintegrasian “perjuangan Islam” itu sendiri pada konteks demokratisasi dalam jangka panjang, tanpa mengguncangkan keadaan dan merapuhkan proses integrasi nasional yang tengah mengkonsolidasikan diri itu. Mampukah NU memegang peranan seperti itu di masa datang, mengingat kelambanannya yang sangat besar dalam mengambil keputusan dan sikapnya yang sangat positif dalam kehidupan bangsa secara keseluruhan? Tentang ini mau tidak mau harus dijawab, jika NU tidak ingin kehilangan relevansi dirinya dalam kehidupan bangsa dalam jangka panjang. Ia memiliki cukup kekayaan kultural dan pengalaman politik yang sangat beragam, untuk memulai kiprah seperti itu. Ketidakmampuan menggunakan keduanya bagi kiprah tersebut, dalam jangka panjang justru hanya akan membawa NU kepada pinggiran sejarah, dan berarti irrelevansi dirinya secara bertahap. Sumber: Prisma Pemikiran Gus Dur, LKiS, Yogyakarta. 2010. Tulisan ini diambil sepenuhnya dari http://www.gusdur.net/id/gagasan/gagasan-gus-dur/nu-dan-islam-di-indonesia-dewasa-ini

Siapa Lebih Dekat dengan Tuhan

Perbedaan dalam berbagai hal termasuk aliran dan agama, kata mantan Presiden RI ini, sebaiknya diterima karena itu bukan sesuatu masalah.
Jika sudah bisa menerima perbedaan maka akan lebih terbuka dalam berdialog, bahkan kata Gus Dur, lahir lelucon seperti yang dilontarkan seorang kyai, bhiksu, dan pendeta.
Pendeta mengatakan, “Kami dekat sekali dengan Tuhan. Jadi kami memangil Tuhan Anak, Tuhan Bapak.”  Si bhiksu menimpali, “Kami juga dekat. Bukan manggil Bapak, tapi Om. Lha bagaimana dengan Anda, pak kyai?”  Lalu Pak Kyai menjawab, “Boro-boro deket, manggil-nya aja mesti pake menara,” urai Gus Dur diiringi tawa seisi ruangan.
Tulisan ini sepenuhnya diambil dari http://cangkirgresik.blogspot.co.id/2010/11/kumpulan-humor-gus-dur.html

Gus Dur tentang Kesetaraan dalam Perbedaan

©istimewa
©istimewa
Oleh : Mujiburrahman
K.H. Abdurrahman Wahid yang akrab dipanggil ‘Gus Dur’ adalah tokoh Muslim santri sekaligus politisi yang terpilih menjadi presiden keempat Indonesia. Gus Dur, adalah seorang ulama dan pemimpin organisasi Islam terbesar, Nahdlatul Ulama (NU). Karena itu, pemikiran Gus Dur, termasuk mengenai kesetaraan dalam perbedaan, tidak terlepas dari pemahaman dan penafsirannya terhadap ajaran-ajaran Islam. Pada 1994, Gus Dur datang ke Banjarmasin untuk kegiatan NU. Dia juga diundang PMII Cabang Banjarmasin untuk mengisi seminar tentang ‘Pembaruan Pemikiran Islam’, bertempat di auditorium IAIN Antasari. Saya ketika itu baru saja selesai skripsi, dan masih aktif di PMII.
Hadir mendampingi Gus Dur, Ketua Tanfidziah PW NU Kalsel, M. Zurkani Jahja. Bertindak sebagai moderator, A. Hafizh Anshari, tokoh NU yang kelak menjadi Ketua KPU Pusat (2007-2012). Peserta yang hadir penuh, membludak. Kursi yang tersedia tidak cukup, sehingga banyak yang berdiri. Kebanyakan yang hadir adalah para aktivis mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Banjarmasin. Gus Dur saat itu memang menjadi tokoh kontroversial, yang dipuja sekaligus dihujat, sehingga kehadirannya selalu mengundang perhatian banyak orang.
Gus Dur memulai ceramahnya dengan mengatakan bahwa pembaruan pemikiran Islam di era modern dapat disederhanakan ke dalam dua paradigma besar. Pertama, paradigma yang melihat Islam sebagai agama yang lengkap dan sempurna. Islam diyakini memiliki ajaran yang lengkap di segala bidang: sosial, politik, ekonomi hingga budaya. Karena itu, pembaruan Islam berarti kembali kepada Islam yang dianggap lengkap itu secara keseluruhan. Dengan pandangan ini, Islam kemudian dihadapkan kepada agama, pemikiran dan ideologi lain. Islam ditampilkan sebagai sesuatu yang unik dan berbeda dengan yang lain-lain. Bahkan Islam digambarkan sebagai sesuatu yang bertentangan dan berlawanan dengan yang lain-lain. Kedua, paradigma yang berpandangan bahwa Islam berada dalam alur umum sejarah kemanusiaan. Islam memang memiliki ciri-ciri khasnya sendiri, tetapi ia juga bertemu, berjumpa, berbaur bahkan menyerap dari banyak hal yang berlangsung dalam sejarah umat manusia. Karena itu, berbeda dengan pandangan pertama, menurut paradigma ini, Islam tidak sepenuhnya unik. Dia dapat belajar, berkawan bahkan bekerjasama dengan yang lain-lain.
Mungkin untuk menunjukkan sikapnya yang demokratis (dia ketika itu menjadi Ketua Forum Demokrasi yang kritis terhadap pemerintahan otoriter Orde Baru), Gus Dur tidak secara eksplisit menyatakan, mana di antara dua paradigma itu yang menjadi pilihan pribadinya. “Kita di sini adalah masing-masing kita. Anda adalah warga negara yang merdeka,” katanya. Namun, kalau kita mengamati pemikiran dan praktik politik Gus Dur, jelaslah bahwa ia memilih pandangan yang kedua. Karena itu, dia terbuka kepada apapun yang baik, yang datang dari luar, selama tetap sejalan dengan prinsip-prinsip Islam. Karena itu pula, dia berusaha menghargai perbedaan dan melindungi kaum minoritas. Sikapnya ini semakin tampak dalam dialog. “Mengapa banyak dari tokoh Islam berlatarbelakang pendidikan umum menjadi sangat keras dalam beragama?” tanyaku padanya. Gus Dur menjawab bahwa hal itu karena pengetahuan agama mereka masih sempit.
Dia menceritakan bagaimana Soedjatmoko, cendekiawan terkenal dan dihormati di masa Orde Baru, begitu terkejut setelah Gus Dur menjelaskan makna jihad dalam salah satu kitab fiqh klasik, yang isinya bukan hanya soal perang, tetapi justru tentang pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat dan bagaimana membangun kesejahteraan. Dalam seminar itu, salah seorang peserta ada yang mengkritik Gus Dur, menuduhnya sebagai biangkerok perpecahan umat Islam di Indonesia, karena dia enggan bergabung dengan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Jawaban Gus Dur cukup mengejutkan. Katanya, “Jika umat Islam tidak bisa dipersatukan, ya biarin aja!” Orang-orang pada tertawa. Gus Dur kemudian melanjutkan bahwa perbedaan itu justru menimbulkan gairah, seperti taman yang ditumbuhi bunga-bunga berbagai jenis dan warna akan membuat mata terpesona. Orang tidak boleh memaksakan kehendak, lalu menyeregamkan perbedaan, karena akan mematikan kreativitas. Lantas, bagaimanakah persatuan umat Islam ditegakkan? Menurut Gus Dur, persatuan itu dapat diwujudkan pada tataran prinsip-prinsip agama, bukan cabang-cabangnya, ushûl bukan furû’.
Demikianlah, sikap Gus Dur yang memilih paradigma Islam sebagai berada dalam alur umum sejarah kemanusiaan membuatnya berusaha di satu sisi untuk menghormati dan melindungi perbedaan, dan pada saat yang sama berusaha mencari titik temu di antara perbedaan tersebut. Gagasan Gus Dur mengenai ‘pribumisasi Islam’ antara lain merupakan upaya untuk menegaskan bahwa Islam sebagai agama memang universal, tetapi manifestasi Islam dalam berbagai kebudayaan membuatnya berbeda-beda. Memisahkan Islam dari kebudayaan adalah absurd karena meskipun agama itu berasal dari Tuhan, bukan ciptaan manusia, tetapi ketika diterima, diamalkan dan diajarkan oleh manusia, agama menyatu dan berbaur dengan kebudayaan. Karena itu, dalam sebuah kolom di Tempo yang terbit tahun 1983, Gus Dur menulis bahwa Islam jangan sampai tercerabut dari akar-akar budaya lokal. Ia mempertanyakan, mengapa kita harus mengganti kata ‘sembahyang’ dengan ‘shalat’, ‘langgar’ atau ‘surau’ dengan ‘mushalla’, ‘kiai’ atau ‘tuan guru’ dengan ‘ustadz’? Ia mengkhawatirkan bahwa akan terjadi formalisme berbentuk Arabisasi total. Karena itu, menurutnya diperlukan pribumisasi Islam. Dalam sebuah wawancara yang diterbitkan pada 1989, Gus Dur dengan indah menggambarkan proses pembudayaan agama itu dengan metafora air hujan dan sungai, suatu metafora yang terasa akrab bagi masyarakat Banjarmasin, Kota Seribu Sungai. Gus Dur mengatakan:
Pribumisasi Islam adalah bagian dari sejarah Islam, baik di negeri asalnya maupun di negeri lain, termasuk Indonesia. Kedua sejarah itu membentuk sebuah sungai besar yang terus mengalir dan kemudian dimasuki lagi oleh kali cabangan sehingga sungai itu semakin membesar. Bergabungnya kali baru berarti masuknya air baru yang merubah warna air yang telah ada. Bahkan pada tahap berikutnya, aliran sungai ini mungkin terkena ‘limbah industri’ yang sangat kotor. Tapi toh tetap merupakan sungai yang sama dan air yang lama. Maksud dari perumpamaan ini adalah bahwa proses pergulatan dengan kenyataan sejarah tidaklah merubah Islam, melainkan hanya merubah manifestasi dari kehidupan agama Islam.
Ketika ide pribumasasi Islam digulirkan oleh Gus Dur, dia dituduh ingin mengganti ‘Assalamu’alaikum’ dengan ‘Selamat Pagi’, termasuk dalam ibadah salat. Tentu saja, tuduhan ini memantik kontroversi, dan Gus Dur seperti biasa, menghadapinya dengan santai. Soal ‘Assalamu’alaikum’ dan ‘Selamat Pagi’ itu, Gus Dur menjelaskan bahwa ada pejabat yang berkata kepadanya bahwa dia tidak fasih mengucapkan ‘Assalamu’alaikum’. Lalu Gus Dur menanggapi, jika demikian, cukup diucapkan ‘Selamat Pagi’ saja. Meski kontroversi ini di satu sisi membuat gagasan Gus Dur jadi perbincangan, namun di sisi lain, substansi dari gagasan itu justru terabaikan.
Jika Islam itu akomodatif terhadap keragaman budaya lokal selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam, bagaimanakah pandangan Islam terhadap universalisme kebudayaan dan kosmopolitanisme? Dalam sebuah makalah yang diterbitkan pada 1994, Gus Dur menjelaskan bahwa nilai-nilai universal dalam Islam adalah apa yang dikenal sebagai lima tujuan dasar syariat (maqâshid al-sharî’ah) yang semula dirumuskan oleh al-Ghazali, kemudian dikembangkan oleh al-Syathibi. Lima tujuan dasar syariat, yang disebut kemaslahatan itu adalah (1) Hifzh al-nafs yang diartikannya sebagai jaminan keselamatan jiwa dan fisik dari tindakan di luar hukum; (2) Hifzh al-dîn yang diartikannya sebagai jaminan kebebasan beragama; (3) Hifzh al-nasal, yakni jaminan keselamatan keluarga dan keturunan; (4) Hifzh al-mâl, yaitu jaminan keselamatan harta atau hak milik; (5) Hifzh al-‘aql yang diartikannya sebagai jaminan keselamatan profesi.
Seperti banyak pemikir Muslim modern lainnya, dengan merujuk kepada tujuan-tujuan syariat ini, Gus Dur berusaha mensejajarkan antara nilai-nilai agama dan nilai-nilai kemanusiaan universal, atau yang kemudian dirumuskan sebagai hak-hak asasi manusia (HAM). Pada tataran keindonesiaan, nilai-nilai dasar syariat itu juga dipertemukan dalam ideologi negara, yaitu nilai-nilai Pancasila. Karena itu, penerimaan kaum Muslim terhadap Pancasila bukan suatu oportunisme politik seperti yang dituduhkan para ‘pejuang’ negara Islam, tetapi justru berdasarkan alasan fundamental, yakni tujuan-tujuan syariat yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
Namun, perjumpaan atau titik temu pada tataran nilai-nilai kemanusiaan tersebut tidak berarti bahwa semua perbedaan akan lenyap apalagi dilenyapkan. Sebab, jika demikian, maka gagasan Gus Dur tentang pribumisasi Islam menjadi tertolak. Karena itu pula, ketika berbicara tentang keragamaan agama, Gus Dur menekankan bahwa setiap agama berhak dan sudah sewajarnya memiliki keyakinan tentang kebenaran agama yang dianutnya. Dalam sebuah kolom yang ditulisnya di Tempo yang berjudul ‘Yang Sama dan Yang Benar’, Gus Dur menguraikan masalah ini dengan gamblang. Menurutnya, ketika seorang pejabat mengatakan bahwa semua agama sama, tidak harus berarti bahwa semua agama adalah benar. Yang dimaksud dengan pernyataan itu adalah bahwa semua agama sama di hadapan negara, sedangkan klaim kebenaran masing-masing agama tetap bisa dijaga. Gus Dur menjelaskan:
Kalau kita berkepala dingin, kita pertama kali harus mampu membedakan antara berjenis-jenis ‘kesamaan’ yang di mata agama dan di mata negara. Kesamaan di mata agama berkait dengan masalah kebenaran inti ajaran, sedang kesamaan di mata negara adalah status di muka undang-undang, kedudukan di muka hukum. Tidak ada agama yang mau melepaskan ‘hak tunggal’nya untuk memonopoli ‘kebenaran ajaran’. Forum keagamaan formal paling ‘longgar’ sekalipun, Konsili Vatikan II atas prakarsa Paus Yohanes XXIII, masih mempertahankan ‘monopoli kebenaran’ itu: forum itu dapat memahami dan menerima upaya mencapai kebenaran mutlak Tuhan, dengan tidak mengurangi kebenaran yang sudah dicapai keimanan Kristiani.
Islam pun bersikap demikian, karena al-Qur’an sudah menetapkan agama yang benar di sisi Allah adalah Islam. Namun tidak berarti negara tidak boleh memberikan perlakuan yang sama kepada semua agama. Sebaliknya, keutuhan negara hanya akan tercapai kalau ia memberikan perlakuan sama di muka hukum. Persamaan teologis antara dua agama tidak akan mungkin ada—kalau diartikan sebagai hak merumuskan kebenaran mutlak Tuhan. Namun persamaan kedudukan di muka hukum dapat ditegakkan, selama ada yang memberikan perlakuan sama.
Demikianlah beberapa gagasan pokok Gus Dur mengenai kesetaraan dalam perbedaan, kesatuan dalam keragaman. Sebagai seorang Muslim, Gus Dur membanguan pandangannya dari tradisi pemikiran Islam. Dia memilih paradigma terbuka, yang meletakkan Islam dalam alur umum sejarah kemanusiaan. Karena itu, secara alamiah, Islam akan muncul dalam aneka budaya yang berbeda, namun pada saat yang sama, ciri-ciri khas Islam tetap mengikat keragaman itu. Begitu pula, niai-nilai kemanusiaan universal dapat dipertemukan dengan tujuan-tujuan syariat, dan pada tataran keindonesiaan dengan nilai-nilai Pancasila, tetapi pada saat yang sama, ciri khas Islam sebagai agama tetap dijaga.
Karena itu, bagi Gus Dur, menjaga keyakinan dan klaim kebenaran bagi tiap-tiap pemeluk agama memang sudah sewajarnya, tetapi bukan berarti harus melahirkan konflik karena dalam perbedaan ini, negara wajib memperlakukan para pemeluk agama yang berbeda itu secara adil dan sama di hadapan hukum. Sejarah membuktikan, Gus Dur tidak hanya menggelindingkan gagasan-gagasan ini, tetapi juga berusaha mewujudkannya dalam tindakan dan kebijakannya sebagai pemimpin NU dan presiden. Tentu, sangat penting dan menarik untuk ditelaah lebih lanjut seberapa jauh keberhasilan dan kegagalan usahanya dalam mewujudkan ide-idenya itu menjadi kenyataan, dan apa saja faktor pendukung dan penghambatnya.

Tulisan ini sepenuhnya diambil dari: http://www.gusdurian.net/id/article/all-categories/Gus-Dur-tentang-Kesetaraan-dalam-Perbedaan/

Review Buku-Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman

Oleh : Kahfi Dirga Cahya

cover buku "Gus Dur menjawab Perubahan Zaman"Gus Dur tidak melulu dikenal dengan pemikiran nyeleneh-nya. Banyak pemikiran yang di luar pandangan orang banyak tentang Gus Dur, ternyata menyimpan seribu pesan yang mengena—bahkan tak sungkan dianggap sebagai jawaban-jawaban dari berbagai permasalahan. Misal, dalam buku Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman—yang notabene kumpulan pendapat dan komentar Gus Dur dalam bentuk tulisan di Harian KOMPAS. Jakob Oetama, dalam kata pengantar di buku ini juga menyampaikan bahwa keragaman isi dan pandangannya memperkuat posisi Gus Dur sebagai cendekiawan yang terlibat terhadap kemanusiaan, martabat serta tulus terhadap hak-hak asasi tanpa diskriminasi atau pun oportunisme. Dalam buku ini pula, pendapat Gus Dur dikategorikan dalam berbagai perspektif sehingga membentuk satu pandangan sendiri mengenai permasalahan zaman—seperti ‘Agama Islam dan Negara’, ‘Kepemimpinan Politik’, ‘Kepemimpinan Moral Spiritual’, ‘Membangun Tradisi Politik dan Demokrasi’.
Gus Dur memiliki peran penting dalam proses kerukunan umat beragama di Indonesia. Terlebih, konteks NU yang melekat pada dirinya merupakan bagian dari model keislaman di Indonesia yang memiliki peran penting. Bagi Gus Dur, memulihkan hubungan sempat retak untuk kembali harmonis merupakan suatu hal sulit. Ia sendiri tak menampik bahwa bangsa Indonesia dengan keragaman etnis, rasm suku dan agama perlu usaha yang keras untuk mewujudkan keharmonisan di dalamnya. Gagasan besar dalam hubungan antarumat beragama di Indonesia menurut Gus Dur bukan lagi sekadar saling pengertian, melainkan juga secara tulus dan berkelanjutan. Tidak cukup pada takar saling menghormati, juga harus punya rasa memiliki. Gus Dur juga menyayangkan adanya penggiringan opini negatif terhadap pihak-pihak tertentu dari para pengkhotbah dan ceramah pemimpin Islam. Untuk itu, Gus Dur menekankan rasa memiliki itu harus dipikul oleh umat Islam di Indonesia agar terciptanya keharmonisan serta menjadikan Islam sebagai kekuatan pelindung bagi seluruh penduduk negeri ini secara keseluruhan. (“Islam dan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia”, Kompas, Senin, 14 Desember 1992)
Perhatian Gus Dur terhadap keterkaitan antara agama dan negara bukan hanya sekadar tulisan belaka. Gus Dur pun turut serta dalam pembangunan serta keikutsertaan dan penilaian terhadap kegiatan yang berkaitan dengan format hubungan agama dan negara. Misalnya pendapatnya mengenai Kongres Umat Islam yang mencari format hubungan agama dengan negara, Gus Dur menilai bahwa kegiatan sebelumnya telah gagal dalam membangun sebuah rumusan yang fasih. Tak lain karena terpecah belahnya umat Islam di Indonesia. Gus Dur justru mengkriti bagaimana Islam di Indonesia hanya mengacu pada konsep ke-esa-an semata (Tauhid). Dengan kata lain, banyak kegiatan dan hal-hal lain di luar itu dihindarkan. Semisal, meninggikan orang yang dimuliakan oleh Allah seperti Wali dan ziarah kubur dianggap sebagai penentangan terhadap umat Islam. Bagi Gus Dur, banyak ormas Islam seperti NU dan Muhammadiyah yang selama ini sudah besar, belum bisa menjawab hubungan Islam dan Negara.
Dalam beberapa pandangan misalnya perbedaan muncul dalam merumuskan siapa pemimpin Islam. Bagi gerakan pembaru, maka menurut Gus Dur harus dicari sesuai format yang berlaku—namun bagi kaum tradisionalis, hal itu tentu dibiarkan saja terjadi secara natural. Di balik semua itu, hal yang lebih esensial lagi yakni mengenai Islam yang dipandang sebagai agama hukum, maka perlu menerapkan hukum Islam dalam konteks kenegaraan. Gus Dur sendiri meniali bahwa terdapat tiga macam reponsi dalam hubungan antara Islam dan negara, yaitu reponsi integratif, repsonsi fakultatif dan responsi konfrotatif. Responsi integratif dinilai bahwa Islam sama sekali menghilangkan kedudukan formalnya dan sama sekali tidak menghubungkan ajaran agama dengan urusan kenegaraan. Artinya, masyrakat yang menganut agama Islam itu bergantung dengan pola hidup nya sendiri—tanpa harus diatur oleh negara. Responsi fakultatif menurut Gus Dur tergantung bagaimana perwakilan kaum muslimin di parlemen. Jika kuat, maka akan diusahakan, sebaliknya jika lemah maka akan mengikuti aturan yang berlaku. Responsi konfrotatif secara tegas menolak kehadiran hal-hal yang dianggap tidak Islami. (“Kongres Umat Islam: Mencari Format Hubungan Agama dengan Negara”, Kompas, Kamis, 5 November 1998.
Penulis adalah alumni kelas pemikiran Gus Dur 3

Tiga Pendekar dari Chicago

Generasi pertama cendekiawan muslim dari Universitas Chicago ada tiga orang, yaitu Nurcholish Madjid, Amien Rais, dan Ahmad Syafi’i Ma’arif. Hingga kini, merekalah yang dianggap mewakili angkatan pertama itu, karena belum muncul generasi keduanya.
Ketiga “pendekar” di atas ternyata tidak menampilkan citra yang sama dan padu seperti para alumni Universitas McGill di Montreal, Kanada. “Mafia McGill” hampir semuanya menjadi “agen pencerahan” yang bersikap serba-terbuka kepada “hal-hal baru”, termasuk gagasan kerukunan antarumat beragama. Mafia itulah yang kemudian menguasai Departemen Agama sejak Profesor A. Mukti Ali menjabat menteri agama, pada tahun 1970-an.
Walaupun beberapa dedengkotnya, seperti Kafrawi, M.A., dibantai oleh Menteri Agama Alamsyah Ratuperwiranegara (1978-1983), toh secara keseluruhan mafia tersebut masih kukuh menopang kegiatan departemen itu. Hal itu terjadi karena kuatnya kohesi para anggotanya, mulai A. Mukti Ali dan Harun Nasution hingga yang baru pulang belakangan dari sana.
Itu lain halnya dengan para pendekar dari Chicago. Nurcholish Madjid berangkat dari keterbukaan sikap yang ditunjukkan peradaban Islam di puncak kejayaannya, sekitar sepuluh abad lalu: keterbukaan yang membuat Islam mampu menyerap yang terbaik, dari mana pun datangnya. Proses penyergapan itu menjadikan Islam agama yang sarat dengan nilai universal yang dianut umat manusia secara tidak berkeputusan. Karenanya, Nurcholish Madjid selalu menekankan pentingnya mencari persamaan di antara semua agama dan semua kebudayaan.
Sikap memisahkan diri dari universalitas peradaban manusia hanya akan menyempitkan Islam sendiri, sebagai cara hidup bagian cukup besar dari umat manusia. Inklusivitas Islam haruslah dipertahankan kalau vitalitas agama terakhir itu ingin dapat dilestarikan. Sebab, keharusan mengembangkan inklusivitas Islam itu, dalam pandangan Nurcholish, hanya dapat terwujud dalam lembaga politik formal Islam. Terkenal sekali semboyan Nurcholish: “Islam yes, partai politik (Islam) no”.
Sudah tentu pendekatan kultural Nurcholish Madjid itu bertabrakan langsung dengan pandangan Amien Rais. Wakil Ketua PP Muhammadiyah itu terkenal dengan orientasi “cara hidup Islami” yang ditumbuhkannya di kampus-kampus selama ini. Cara hidup tersebut bermula dari kesungguhan berpegang pada Islam sebagai sumber nilai-nilai yang unik.
Nilai-nilai tersebut dapat saja dikembangkan umat agama atau paham lain, tetapi sebagai sistem akan memiliki kekhasan sendiri. Menurut pandangan ini, mau tidak mau kaum muslim harus memperhatikan dunia politik, yang akan melestarikan kekhasan Islam melalui pelestarian nilai-nilainya dalam sebuah sistem sosial yang utuh. Arti kekuasaan politik menjadi sangat penting sebagai alat upaya pelestarian itu.
Itu lain halnya dengan pandangan Syafi’i Ma’arif, yang tidak begitu risau dengan prospek kekhasan Islam sebagai sebuah sistem seperti anggapan Amien Rais. Ia lebih dekat pada pandangan Nurcholish, yang mengutamakan aspek kultural Islam. Tetapi, sebagai “orang organisasi”, ia juga menekankan arti penting upaya memasuki pusat-pusat kekuasaan (power centers).
Dengan memiliki kewenangan pemerintahan, orang-orang gerakan Islam (Islamic movements) dapat lebih jauh lagi mengembangkan Islam sebagai “budaya bangsa”. Mungkin akan lebih nges kalau pandangan ini disemboyankan sebagai “Islam yes, politik Islam yes”.
Cukup besar perbedaan antara ketiga pandangan itu. Dan itulah yang menjadi ciri “kesatuan” antara ketiga pendekar Chicago itu. Mereka sama-sama memiliki komitmen untuk mengembangkan Islam sebagai cara hidup, dalam bentuk sistematik atau “hanya” kultural. Mereka juga sama-sama merasakan kebutuhan untuk mengembangkan kemampuan kaum muslim di segala bidang, untuk mengejar ketertinggalan mereka selama ini.
Untuk itu, mereka sependapat tentang perlunya perubahan mendasar dalam pandangan hidup kaum muslim: etos dan disiplin kerja serta etika sosial mereka. Dalam merumuskan kelayakan upaya-upaya itulah terjadi “perbedaan dalam kesatuan” antara mereka bertiga.
Nurcholish, dalam kegairahan meneguk “air kehidupan” dari berbagai sumber, melontarkan “kesamaan dasar” antara Islam dan agama-agama besar lain, yang terwujud dalam nilai-nilai universal yang dimilikinya. Kontan pandangan “aneh” ini digebuk beramai-ramai oleh kalangan umat (baca: gerakan) Islam. Ridwan Saidi dan Daud Rasyid “menguliti”-nya tanpa kasihan dan menuntut agar Nurcholish “bertobat”.
Sebenarnya, kalaupun Nurcholish dapat dipersalahkan, hal itu hanya terletak pada generalisasinya atas “kesamaan” antara Islam dan agama-agama lain. Ia tidak merumuskan hal itu sebagai sesuatu yang relatif, yang masih memungkinkan Islam dibedakan secara kategoris dari sudut pandang teologis.
Bagaimanapun, hal seperti itu tidak akan bisa diterima umat Islam. Ia seharusnya menyatakan bahwa secara teologis ada perbedaan esensial antara semua agama di dunia karena unikum masing-masing. Namun unikum itu harus “dikendalikan” dan “dipertalikan” dengan memberikan perlakuan dan kedudukan yang sama bagi semua warga negara di mata hukum negara. Kalau ini yang dikemukakannya, tentu tak ada yang keberatan terhadap pandangan Nurcholish.
Yang menarik, kedua pendekar lainnya dari Chicago tidak membelanya dari serangan Ridwan Saidi. Itu berarti antara mereka tampaknya tidak ada hohesi kuat. Benarkah demikian?

Tulisan ini sepenuhnya diambil dari Tempo edisi 27 Maret 1993
 
Copyright © 2014 Gusdurian Lumajang. Designed by OddThemes | Distributed By Gooyaabi Templates